Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah aturan tentang hak pilih dalam UU 7/2017 Pemilu digugat ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini diajukan oleh tujuh orang yang berasal dari perwakilan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (
Perludem), mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, ahli hukum tata negara Feri Amsari, dan sisanya masyarakat sipil yakni Augus Hendy, Murogi Bin Sabar, M Nurul Huda, dan Sutrisno.
Dalam permohonannya, ada empat pasal dalam UU Pemilu yang digugat yakni pasal 348 ayat (4) dan (9), pasal 210 ayat (1), pasal 350 ayat (2), dan pasal 383 ayat (2).
Kuasa hukum pemohon, Denny Indrayana mengatakan, ketentuan dalam aturan tersebut dinilai merugikan karena berpotensi menghilangkan hak pilih warga hanya karena persoalan administrasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Aturan itu juga berpotensi mengganggu keabsahan proses pemilu, seperti batasan penghitungan suara di TPS yang diatur selesai pada hari yang sama dengan pemungutan suara," ujar Denny.
Dalam pasal 348 ayat (9) menjelaskan bahwa penduduk yang telah memiliki hak pilih dapat memilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) atau TPS Luar Negeri (TPSLN) menggunakan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Menurut Denny, syarat tersebut merugikan warga yang belum memiliki e-KTP. Dari data yang ia miliki, ada sekitar 7 juta warga di Indonesia yang belum memiliki e-KTP. Kondisi ini diperparah dengan minimnya ketersediaan blanko e-KTP hingga menghambat proses kepemilikan kartu identitas tersebut.
Akibatnya, warga yang belum memiliki e-KTP terancam kehilangan hak pilihnya. Semestinya, kata Denny, ketentuan pasal itu diubah dengan memberi keleluasaan bagi warga yang belum memiliki e-KTP dengan identitas lain seperti KTP biasa, akta kelahiran, kartu keluarga, akta nikah, maupun kartu identitas lain.
"Sehingga syarat e-KTP ini berpotensi menghilangkan, menghalangi, atau mempersulit hak pilih bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, warga binaan lapas, dan pemilih lain yang tidak punya akses untuk pembuatan e-KTP," katanya.
Kemudian dalam pasal 384 ayat (4) yang mengatur tentang hak pilih bagi warga yang pindah tempat memilih juga dinilai Denny merugikan. Dalam pasal tersebut mengatur bahwa pemilih yang pindah tempat memilih, hanya dapat memilih calon legislatif yang surat suaranya tersedia di tempat pindah pemilih.
Artinya, warga hanya bisa memilih capres-cawapres dan kehilangan haknya dalam memilih anggota legislatif sesuai daerah pemilihannya.
Dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilu 2014, saat itu warga yang pindah tempat memilih masih dapat memilih caleg sesuai daerah pemilihannya.
"Maka pasal 348 ayat (4) ini harus dihapus demi menyelamatkan hak pilih dalam pemilu legislatif," ucap Denny.
Selanjutnya dalam pasal 210 ayat (1) mengatur bahwa pendaftaran ke Daftar Pemilih Tetap Tambahan (DPTb) hanya dapat dilakukan paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara. Padahal, menurut Denny, pemilih dapat masuk ke DPTb akibat kondisi tak terduga seperti sakit, menjadi tahanan, hingga tertimpa bencana alam.
Batas waktu 30 hari ini dianggap tak tepat karena bisa saja pemilih terkena kondisi di luar dugaan sehari sebelum hari pemilihan. Mestinya, kata dia, ketentuan itu dapat diubah maksimal tiga hari sebelum pemungutan suara.
"Pembatasan 30 hari ini berpotensi menghambat dan mempersulit dilaksanakannya hak memilih," tuturnya.
Gugatan lainnya yakni pasal 350 ayat (2) tentang pembentukan TPS yang didasarkan pada DPT dengan e-KTP.
Denny mengatakan, pembentukan TPS berdasarkan DPT merugikan pemilih yang pindah tempat memilih karena berbagai alasan seperti bertugas, sakit, pindah domisili, maupun terpidana yang menjalani hukuman penjara.
Menurut mantan wakil menkumham ini, perlu dibuat aturan tentang pembentukan TPS khusus berbasis DPTb untuk memudahkan warga memberikan hak pilihnya.
"Aturan itu mestinya dapat ditafsirkan dengan pembentukan TPS berbasis DPTb apabila jumlah pemilih DPTb di suatu tempat melebihi jumlah maksimal pemilih di TPS," katanya.
Kemudian dalam gugatan pasal 383 ayat (2) menjelaskan bahwa penghitungan suara hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN pada hari pemungutan suara. Namun, menurut Denny, aturan itu mestinya dapat diubah dengan memberikan batas waktu paling lama satu hari sejak pemungutan suara untuk melakukan penghitungan.
Denny meminta MK mempercepat putusan gugatan yang diajukan mengingat waktu pelaksanaan pemilu sudah semakin dekat pada 17 April mendatang.
Merujuk pada putusan MK tahun 2009, lembaga konstitusi tertinggi itu pernah memutus suatu perkara tanpa proses mendengarkan keterangan pemerintah maupun DPR.
"Para pemohon dengan hormat mengajukan permintaan agar perkara ini diprioritaskan untuk diputuskan dalam waktu secepatnya sehingga penyelenggara pemilu dapat mempersiapkan dengan sebaik-baiknya," ucap Denny.
[Gambas:Video CNN] (ugo/psp)