Fenomena Pilpres AS Disebut Bisa Terjadi pada Pemilu di RI

CNN Indonesia
Senin, 25 Mar 2019 06:22 WIB
Pengamat menganggap fenomena hasil Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 yang mengejutkan bisa terjadi di Indonesia pada pemilihan umum April mendatang.
Diskusi Politik bertemakan ‘Migrasi Suara Pilpres 2019: Survei Vs Realita’ membedah pengaruh pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) terhadap hasil pemilu pada April mendatang. (CNN Indonesia/Riva Dessthania Suastha).
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menganggap fenomena hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat 2016 yang mengejutkan bisa terjadi di Indonesia pada pemilihan umum April mendatang.

Noor menuturkan hal itu dilihat dari persentase kelompok undecided voters (pemilih yang belum menentukan pilihan) yang besar berdasarkan hasil survei terbaru sejumlah lembaga.

Noor merujuk pada hasil survei Litbang Kompas Maret 2019 yang menyebutkan masih ada 13,4 persen responden yang belum menentukan pilihannya. Selain itu, berdasarkan pula pada hasil jajak pendapat Rumah Demokrasi pada bulan yang sama dengan hasil ada 14 persen undecided voters.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sangat mungkin apa yang terjadi dalam Pilpres AS 2016 juga kejadian di Indonesia nanti karena kalau kita lihat selisih (elektabilitas kedua paslon) semakin tipis dan persentase undecided voters-nya masih besar," kata Noor usai menghadiri diskusi politik bertemakan Migrasi Suara Pilres 2019: Hasil Survei VS. Realitas, di Jakarta, Minggu (24/3).


Dalam Pilpres AS 2016 lalu, sebagian besar lembaga survei memprediksi bahwa Hillary Clinton dari Partai Demokrat yang bakal menang. Namun, berdasarkan hitung suara di hari H pemilihan, politikus Partai Republik Donald Trump lah yang keluar sebagai pemenang.

Kemenangan Trump saat itu disebut sangat terbantu oleh para undecided voters atau silent voters yang sebelumnya tak terdeteksi oleh lembaga survei.

Noor mengatakan kekalahan Clinton dan hasil survei yang meleset disebabkan oleh minimnya perhatian yang ditujukan kepada kelompok undecided voters. Padahal, kelompok pemilih tersebut cukup berpengaruh mendulang suara.

"Katakanlah kita merujuk pada survei Rumah Demokrasi yang bilang kalau undecided voters atau kelompok tak tersentuh itu ada 14 persen. Kemudian pada hari H pemilihan ada 10 persen dari kelompok tersebut memilih pasangan calon 01 Joko Widodo-Ma'aruf Amin, itu kan bisa menyalip suara paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno," ucap Noor.


Dengan rentan waktu kurang dari sebulan, Noor mengatakan kedua kubu paslon harus bisa membujuk para pemilih, terutama undecided voters ini, jika ingin mengamankan kemenangan.

Salah satu caranya, papar Noor, adalah dengan mempertajam program masing-masing kubu yang berfokus pada kebutuhan masyarakat. Menurut Noor, masyarakat saat ini sangat sensitif dengan isu ekonomi khususnya pangan, daya beli, dan pengangguran.

"Jadi kedua paslon harus bisa memfokuskan program-programnya pada isu yang paling relevan bagi masyarakat, bukan isu yang baik bagi masyarakat tapi tidak kena ke warga. Kita di sini biara suara rakyat, bukan elite atau pemerintah," ujarnya.

Selain itu, Noor juga menganjurkan kedua kandidat presiden dan wakil presiden untuk menjaga sikap dan citra lantaran sedikit kesalahan saja bisa mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap keduanya.


"Selain jaga citra kandidat, sikap orang-orang di sekeliling kedua kandidat presiden juga harus dijaga. Jangan sampai buat blunder yang bisa mengubah situasi," katanya.

Senada dengan Noor, pendiri sekaligus Direktur Rumah Demokrasi Ramdansyah juga menganggap fenomena Pilpres AS yang jauh di luar prediksi bisa juga terjadi pada pilpres 17 April nanti.

Menurut Ramdansyah, mau tak mau kedua kubu paslon harus sebisa mungkin menarik para undecided voters ini untuk mendukung masing-masing kubu jika ingin mengamankan suara.

"Pilpres AS 2016 itu juga sama, ada 14 persen undecided voters. Bagaimana pada akhirnya sebagian besar dari mereka memilih Trump? Itu karena pendekatan emosional konfrontatif yang berhasil digunakan tim Trump untuk membujuk kelompok pemilih tersebut," kata Ramdansyah.


Dia menambahkan Trump dan loyalis partainya memakai isu islamofobia dan imigran yang kemudian mendorong para undecided voters bermigrasi mendukung Trump. (rds/lav)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER