Jakarta, CNN Indonesia --
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan batas maksimal waktu pindah Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari 30 hari sebelum pencoblosan menjadi H-7 pencoblosan bagi yang tertimpa sakit, bencana alam, penugasan, dan menjadi tahanan.
Putusan ini merupakan salah satu yang dikabulkan MK terkait gugatan tujuh orang dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, ahli hukum tata negara Feri Amsari, dan sisanya masyarakat sipil yang juga narapidana yakni Augus Hendy, Murogi Bin Sabar, M Nurul Huda, dan Sutrisno.
Para penggugat memohon uji materi pasal 210 ayat (1) UU Pemilu yang mengatur batas maksimal pemilih berpindah TPS 30 hari sebelum pemilihan berlangsung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka menginginkan agar batas waktu bagi pemilih yang berpindah TPS menjadi tiga hari sebelum pemungutan suara. Sebab, tak menutup kemungkinan muncul kondisi tak terduga seperti sakit atau tertimpa bencana alam bagi warga.
Hakim MK kemudian mengabulkan permohonan tersebut dan hanya berlaku bagi pemilik hak pilih yang sakit, tertimpa bencana alam, dan menjalankan tugas ketika hari pemungutan suara, serta menjadi tahanan.
 Gedung MK, Jakarta. ( ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A) |
Hakim pun memberikan batas waktu tujuh hari sebelum pemungutan suara, bukan tiga hari seperti yang diminta oleh penggugat, untuk berpindah TPS.
"Frasa 'paling lambat 30 hari dalam pasal 210 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara kecuali bagi pemilih karena kondisi tidak terduga di luar kemampuan dan kemauan pemilih karena sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara ditentukan paling lambat tujuh hari sebelum hari pemungutan suara," tutur mahkamah, Kamis (28/4).
"Hal itu diberlakukan sepanjang ditujukan untuk melindungi hak pemilih yang mengalami keadaan tertentu seperti sakit, bencana alam, dan sedang menjalankan tugas paling lambat tujuh hari sebelum pemungutan suara," katanya.
Meski begitu, MK menolak gugatan terhadap pasal 348 ayat (4) yang mengatur tentang ketentuan hilangnya hak pilih warga terhadap calon anggota legislatif dari daerah asal jika pindah TPS.
Penggugat sebelumnya beralasan aturan itu merugikan karena pemilih yang pindah tempat memilih hanya dapat memilih capres-cawapres dan kehilangan haknya dlaam memilih anggota legislatif.
Namun menurut hakim, pemilih yang sudah keluar dari daerah asal atau domisili, hak pilihnya untuk memilih caleg menjadi tidak valid.
Sebelumnya, MK menolak gugatan sejenis dari dua mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), Joni Iskandar dan Roni Alfiansyah Ritonga yang merasa terancam hak pilihnya karena akan mencoblos di luar daerah asal.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai penggugat tak menjelaskan secara rinci pokok permohonannya dan tak menjelaskan tenggat waktu yang diinginkan untuk pindah memilih.
Diketahui, KPU sudah menutup masa pindah memilih pada 17 Maret 2019 atau H-30 sebelum hari pemungutan suara.
Proses pindah TPS dimulai dengan mengabarkan Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau KPU Kabupaten atau Kota tujuan. Data pemilih itu kemudian akan dihapus dari TPS asalnya.
Pemilih yang pindah TPS ini kemudian akan dimasukkan dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). Mereka kemudian akan mendapatkan formulir A-5 dan mesti dibawa saat datang ke TPS tujuan.
[Gambas:Video CNN] (psp/arh)