Jakarta, CNN Indonesia -- Bagus Bawana Putra (BBP) didakwa telah membuat keonaran karena penyebaran berita bohong atau
hoaks tujuh kontainer surat suara telah dicoblos di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Jaksa mengatakan terdakwa sengaja menyebarkan hoaks tujuh kontainer berisi surat suara telah dicoblos untuk Paslon nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin pada 2 Januari 2019.
"Menyiapkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat yang dilakukan oleh terdakwa," kata jaksa penuntut umum di sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (4/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian jaksa menceritakan awal mula beredar informasi bohong tersebut. Kabar itu diterima salah satu anggota grup Gerakan Nasional Prabowo Presiden. Oleh anggota grup itu kemudian disebarkan. BBP sendiri menerima
voice note yang membenarkan hal itu dari saksi Suroso. Kemudian, BBP mengunggahnya melalui akun Twitter.
Jaksa menilai BBP tidak melakukan konfirmasi atas kebenaran informasi yang ia dapatkan tersebut.
"Justru terdakwa menyebarkan berita atau pemberitahuan terkait tujuh kontainer di Tanjung Priok berisi 70 juta surat suara yang sudah tercoblos gambar nomor satu dengan memposting di media sosial milik terdakwa," tutur jaksa.
Jaksa juga menilai peran BBP dalam menyebarkan informasi melalui akun Twitternya dan
voice note ke grup WhatsApp sebagai upaya yang dapat menyebabkan keonaran di masyarakat.
 Bagus Bawana Putra (tengah) berdiskusi dengan tim kuasa hukumnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Atas dasar itu, Bagus dijerat dengan delapan dakwaan yaitu melanggar Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Dakwaan kedua adalah Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, kemudian Pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Pasal 45A ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP serta Pasal 45A ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE.
Dakwaan keenam adalah Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain itu, Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE juga didakwakan. Dan yang terakhir adalah Pasal 207 KUHP.
BBP sebelumnya ditangkap di Sragen, Jawa Tengah pada 7 Januari lalu. Ia disebut merekam dan mengunggah suara itu ke sejumlah akun dan grup percakapan di media sosial seperti Twitter dan WhatsApp.
Dalam kasus ini BBP ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan empat orang lainnya yakni HY yang ditangkap di Bogor, LS ditangkap di Balikpapan dan J yang ditangkap di Brebes seta MIK di Banten.
Ketiga tersangka pertama sebelumnya diduga menerima konten hoaks tanpa mengonfirmasi kebenaran isi konten dan langsung menyebarkannya melalaui akun Facebook.
Sedangkan MIK yang merupakan seorang guru asal Cilegon diketahui telah mengunggah kalimat di Twitter agar pihak berwajib menindaklanjuti informasi surat suara tersebut dan ia kemudian mengatakan tujuh kontainer itu berasal dari China.
Bagus sendiri disebut tak akan mengajukan eksepsi, sehingga Ketua Majelis Hakim Haryono menyatakan pekan depan sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi.
Mengaku CerobohMenanggapi dakwaan atas dirinya tersebut, usai sidang Bagus menyatakan dirinya adalah korban yang ceroboh dengan menyebarkan informasi palsu itu.
"Jelas sekali saya bukan
creator. [Tapi] itu saya akui saya menyebarkan karena memang ceroboh saya tidak
cross-check," ujar Bagus kepada para wartawan.
Sementara itu kuasa hukum BBP, Oshner Johnson Sianipar, mengatakan akan menghadirkan saksi yang meringankan terdakwa dalam sidang selanjutnya. Saksi-saksi termasuk keluarga yang dapat menjelaskan perilaku BBP sehari-hari.
Mengulang kata BBP, Oshner pun menegaskan kliennya adalah korban yang terlampau percaya dengan kawannya.
"Dia hanya sebagai korban. Terlampau percaya sama rekan-rekannya. Tidak detail, tidak tau kebenarannya memang walaupun khilaf langsung memposting," jelas dia.
(ani/kid)