Jakarta, CNN Indonesia -- Lesbian, Gay, Bisex, Transgender (
LGBT) adalah isu yang turut dimainkan dalam
Pemilu, termasuk di tahun politik kali ini. Tudingan mendapat dukungan dari kelompok monoritas ini dianggap hal negatif.
Pelegalan LGBT dan mendukung hak-hak kaum LGBT adalah contoh isu yang digoreng. Pihak yang dituding pun tak ragu untuk membantah karena dianggap membenarkan tudingan jelas sebuah kerugian dari aspek elektabilitas.
Isu terus digoreng untuk kepentingan politik tertentu. Padahal para anggota komunitas LGBT sendiri merasa sama sekali tak pernah terlibat terkait isu itu. Apalagi jika disebut terafiliasi dengan kelompok politik tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
CNNIndonesia.com mewawancarai sejumlah anggota Arus Pelangi, komunitas LGBT yang ada di Jakarta. Meski ada di Jakarta, komunitas yang bertujuan mengadvokasi hak-hak kelompok LGBT ini merupakan induk 10 organisasi LGBT yang tersebar di 16 provinsi.
Dari empat anggota
Arus Pelangi, mereka semua apatis terhadap politik di Indonesia. Bagi mereka, siapapun yang jadi presiden atau partai apapun yang berkuasa, hak mereka sebagai manusia belum tentu akan diperjuangkan.
Ketua Arus Pelangi Ryan Korbarri mengatakan kaum LGBT tak sedikitpun punya harapan pada calon presiden maupun calon anggota legislatif. Alasannya sederhana, tak satupun dari para politikus itu berjuang untuk melindungi hak-hak kelompok LGBT.
"Ketika kami berbicara tentang pilpres kami merasa siapapun yang akan jadi presiden tetap tidak menguntungkan," kata Ryan kepada
CNNIndonesia.com di Jakarta, Rabu(27/2).
Dengan nada kecewa Ryan mengatakan selama ini ia dan teman-temannya tak berharap muluk-muluk pada pemerintah. Mereka hanya berharap bisa bertahan mengekspresikan gender mereka tanpa dilanggar hak-haknya sebagai warga negara.
 Demo menolak LGBT di Bogor, Jawa Barat. (CNN Indonesia/Setyo Aji Harjanto) |
Dengan begitu kaum LGBT bisa hidup normal layaknya warga negara lainnya, bebas dari stigma dan diskriminasi.
Rekan Ryan sesama anggota Arus Pelangi, Stacey mengatakan, kaum LGBT sangat kecewa karena isu LGBT digoreng di tahun politik. Apalagi permainan isu LGBT itu digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu, bukan untuk benar-benar memperjuangkan hak mereka.
"Justru isu LGBT yang dipakai untuk agenda-agenda tertentu," ujar Stacey.
Ujung-ujungnya, orang-orang seperti Ryan dan Stacey yang jadi korban karena permainan isu itu menimbulkan gejolak di masyarakat. Padahal Arus Pelangi selama ini tak pernah mendompleng politik.
"Kami enggak ngapa-ngapain tapi isunya dibilang ini lah, itu lah, malah kita yang dipolitisasi," kata Stacey.
Abyan, rekan Stacey mengamini pernyataan ini. Selama ini anggota Arus Pelangi dan kaum LGBT lain tak pernah berusaha muluk-muluk, hanya ingin mendapat persamaan dan dihormati haknya.
Namun tiba-tiba ada saja isu yang menyudutkan. Misalnya pernikahan sesama jenis akan dilegalkan jika salah satu capres yang menang. Ia menegaskan kaum LGBT tidak pernah menuntut hak ini.
"Masyarakat harus tahu, kami enggak pernah
mikirin same-sex marriage. Kami enggak
mikirin nikah karena jauh banget. Kami cuma pingin di-
treat sebagai manusia aja," kata Abyan.
Sementara itu terkait partisipasi politik kelompok LGBT selama ini, Ryan menjelaskan pihaknya merasa tidak pernah ikut mengambil bagian untuk diwakilkan hak-haknya. Yang ada, lanjut Ryan, malah diskriminasi yang dilakukan oleh negara.
Abyan menceritakan beberapa pengalaman pahit yang berupa penangkapan sewenang-wenang atau penggerebekan. Belum lagi aturan yang semakin menyudutkan kaum LGBT.
Dalam catatan Arus Pelangi terdapat 45 peraturan diskriminatif di tingkat perda yang 22 di antaranya spesifik menargetkan kepada kelompok LGBT.
"Selama ini enggak ada ya partisipasi. Malah ada usaha mendiskriminasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara dibiarkan oleh negara," ucap dia.
Ryan dan anggota Arus Pelangi lainnya sempat membagikan cerita pengalaman terkait kendala mereka sebagai warga negara dan juga sebagai bagian dari kelompok LGBT.
Pertama, Ryan menceritakan banyaknya transgender perempuan yang kesulitan mengurus kartu tanda penduduk (KTP).
Belum lagi banyak transgender perempuan yang harus keluar dari rumahnya sejak usia muda karena kerap diejek sehingga tidak mengurus KTP-nya. Selain itu banyak juga yang kesulitan mendapatkan pekerjaan secara formal atau mengurus hal-hal lainnya karena KTP yang dimiliki berjenis kelamin laki-laki.
Abyan juga ikut membagi ceritanya ketika mendapati kesulitan saat ingin mengganti nama. Abyan yang terlahir sebagai perempuan ingin mengubah identitas menjadi laki-laki.
 Spanduk tudingan soal hargai hak-gak LGBT yang dikaitkan dengan salah satu partai politik. (Detikcom/Agung Pambudhy) |
Namun prosesnya tidak semudah yang dibayangkan. Belum lagi perlakuan yang membuatnya tidak nyaman.
"Di pengadilan, akte saya perempuan. Yang mau diganti namanya saja bukan jenis kelamin. Itu saya sampai harus
body screen, buka celana, buka baju tapi bukan tim medis yang periksa saya tapi hakim panitera pengganti. Itu sama saja seperti pelecehan, padahal saya ikuti prosedurnya," kata Abyan.
Selain itu Abyan juga terus menceritakan ketidaknyamanan saat hakim terus menyinggung soal penampilan fisiknya dan bingung memanggil dirinya dengan ucapan 'pak atau 'bu'. Pengalaman ini pun disaksikan sejumlah warga karena merupakan sidang terbuka.
Sementara, Stacey juga bercerita bagaimana dirinya kesulitan saat mecari kos. Menurutnya hal ini terjadi kepada banyak perempuan dari kelompok LGBT baik yang transgender maupun bukan.
Berdasarkan pengalamannya, ia kesulitan mencari kos karena pemilik kos menilai dirinya berkelakuan tidak baik karena penampilannya yang terlalu maskulin untuk seorang perempuan.
Anggota LGBT yang lain, Ino (30) berharap siapapun yang terpilih nanti di pemilu, bisa memperjuangkan agar hak-hak LGBT dihormati karena ini adalah bagian dari hak asasi.
Sementara Stacey juga berharap masyarakat bisa menerima kelompok LGBT seperti manusia lainnya.
Kaum LGBT menurutnya punya potensi yang bisa dikembangkan namun ini sama sekali tidak pernah dianggap oleh masyarakat. Yang selalu dilihat masyarakat kaum LGBT selalu dicap bersalah hanya dilihat dari tampilan luarnya semata.