Jakarta, CNN Indonesia -- Tepukan meriah para tamu di akhir
debat Pilpres 2019 pamungkas di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (13/4) malam menjadi tanda rangkaian
Pemilu 2019 bakal memasuki masa tenang. Komisi Pemilihan Umum (
KPU) mengingatkan bahwa masa tenang dimulai sejak Minggu (14/4) hingga Selasa (16/4).
Selama tiga hari (14-16 April) seluruh aktivitas kampanye harus dihentikan, baik yang berlangsung di ruang publik atau media sosial. Larangan berkampanye di masa tenang dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Undang-Undang UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan bahwa larangan ditujukan untuk pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye. Sementara masyarakat atau akun media sosial yang tidak termasuk dalam golongan tersebut, hanya diimbau.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, masyarakat yang tergabung dalam kelompok relawan pendukung merupakan anasir yang bergerak aktif mengampanyekan calon andalannya.
Salah satunya lewat kampanye
door to door. Sementara di ruang media sosial, pasukan digital yang terdiri dari
key opinion leader (KOL),
influencer, dan
buzzer yang berafiliasi dengan peserta pemilu banyak yang tidak terdaftar resmi di KPU.
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito menyebut manuver politik tak akan berhenti seiring dengan masuknya hari tenang. Bukan hanya di dunia maya tapi juga di dunia nyata.
"Dalam waktu singkat pasti ada manuver politik yang intens," kata pengamat sosial dan politik Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito kepada
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, perang gerilya tentu akan terjadi sekalipun tanpa alat peraga kampanye yang ditampilkan.
"Komunitas-komunitas akan bergerak. Pertemuan-pertemuan, mereka pasti tetap mempengaruhi, dengan pesan yang mempunyai arah dukungan ke calon presiden tertentu," kata Arie.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina Toto Sugiarto menyebut masa tenang justru jadi masa yang tidak paling tenang dalam setiap Pemilu.
Pasalnya, lanjut Toto, aktivitas politik yang menjurus pelanggaran justru kerap terjadi di masa tenang.
"Karena pada momen inilah gerakan muncul seperti serangan udara, serangan fajar, dan lain sebagainya," ucap dia.
Berangkat dari itu, Toto berharap, penyelenggara dan pengawas pemilu melakukan pengawasan yang lebih ketat di masa tenang. Hal itu bisa dilakukan lewat Bawaslu dengan melakukan patroli pengawasan.
"Bawaslu harus ada patroli pengawasan sesuai jargon mereka. Awasi setiap logistik apakah ada yang aneh atau tidak. Penemuan di Malaysia jangan-jangan hanya gunung es, pastikan surat suara terkunci, terlabel, dan tak ada upaya pencoblosan kecurangan," ucap dia.
Toto juga berharap masyarakat turut serta menciptakan ketenangan di masa tenang Pemilu 2019. Menurutnya, hal tersebut dapat dilakukan dengan berhenti memperbincangkan hal-hal bernuansa politik baik di ruang publik atau media sosial.
Di masa tenang, dia melanjutkan, masyarakat juga diharapkan tidak meneruskan pesan-pesan di aplikasi percakapannya yang terkait dengan Pemilu 2019.
"Tidak perlu berupaya untuk mengampanyekan siapa yang dibela. Begitu masa tenang juga berhenti
forward [pesan] bernada politik karena wacananya yang tidak mutu juga," ucap Toto.
Di media sosial saat hari tenang, perbincangan soal siapa yang paling pantas jadi Presiden RI. Penonjolan jagoannya juga masih dilakukan. Belum lagi gerakan meramaikan tagar-tagar tertentu. Para pendengung media sosial atau
buzzer masih terus bekerja saat hari tenang.
 Jokowi-Prabowo (REUTERS/Darren Whiteside) |
Beda dengan Pemilu 2014
Konfigurasi Pemilu 2019 memang berbeda dengan Pemilu 2014. Perbedaan paling nyata bisa dilihat dari pola penyelenggaraan yang dilakukan serentak antara pemilihan anggota legislatif dan presiden. Imbasnya, puluhan ribu caleg partai politik dipaksa 'ikut' kampanyekan capres dan cawapres sejak awal.
Pengamat politik Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo mengatakan pola penyelenggaraan pemilu yang dilakukan secara serentak ini menjadi tantangan tersendiri bagi peserta dan penyelenggara. Sejauh ini, kata dia, pola penyelenggaraan serentak membuat masyarakat lebih tertarik dengan pemilihan calon presiden, dibandingkan calon anggota legislatif.
"Paling sekitar 10 persen saja yang ke pileg," ucap Kunto kepada
CNNIndonesia.com.Selanjutnya, kata dia, masifnya percakapan politik pengguna media sosial juga ikut menjadi titik pembeda di Pemilu 2019 ini. Kunto mengatakan hal itu merupakan faktor yang akan menyulitkan pihak penyelenggara dan pengawas pemilu menciptakan situasi tenang di masa tenang Pemilu 2019.
"Di era media sosial seperti ini sulit mendeteksi kampanye di masa tenang. Ada [kampanye lewat] Whatsapp, lalu masyarakat yang gabung di relawan juga kampanye
door to door," kata Kunto.
Dia berpendapat, penindakan terhadap kelompok masyarakat atau pengguna media sosial yang masih berkampanye di masa tenang sulit untuk dilakukan. Kunto melanjutkan, upaya mewujudkan situasi tenang di masa tenang hanya bisa dilakukan dengan kesadaran masing-masing individu masyarakat.
"Agak susah, kecuali masyarakat mengawasi ada yang bukan peserta jadi paling melaporkan dan pasrah," tuturnya.
(mts/sur)