Suara Golput, Suara Rakyat

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Selasa, 16 Apr 2019 17:57 WIB
Sebagai gerakan protes atas sistem politik yang tak memihak masyarakat, kelompok golput menyatakan akan terus bekerja meski pemilu telah usai.
Lini Zurlia mengalami intimidasi di media sosial ketika menyatakan sikap golput. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)

Sepekan kemudian, Lini Zurlia mengikuti Aksi Kamisan yang sama. Dia mengunggah fotonya berlatar belakang Istana Negara di akun Twitter pribadinya @Lini_ZQ. Di foto itu, Lini memegang stiker berwarna putih bergambar telapak tangan dengan tulisan "Saya Golput" di bawahnya. Dia mencuit "#SayaGolput Kamu?".

Atas cuitan itu, warganet beramai-ramai menghujat dan menyerangnya. Bahkan ada pula yang cenderung mengintimidasi. Lini tak menyangka reaksi publik begitu berlebihan menghadapi perbedaan pilihan sikap politik seseorang.

Dia merasa sangat terganggu dengan makian yang merendahkan identitas perempuan. Akibat serangan itu, kata Lini, perhatian publik teralihkan. Fokus pesannya tak lagi soal golput sebagai sebuah protes, tapi berubah menjadi perundungan.

"Aku akhirnya berkesimpulan kita ini belum benar-benar siap pada apa yang disebut perbedaan, termasuk sikap politik," kata Lini saat ditemui di Gedung YLBHI, Jakarta.

Gelombang Protes Pilpres: Saya Golput 2019Menko Polhukam Wiranto menyatakan pengajak golput bisa dikenakan hukuman pidana. (CNN Indonesia/Hesti Rika)

Sehari sebelumnya, Wiranto menyebut orang yang mengajak bersikap golput sebagai pengacau pemilu karena mengancam hak dan kewajiban orang lain. Bahkan Wiranto menyatakan kelompok golput bisa diancam hukuman pidana.

"Kalau UU Terorisme tidak bisa, undang-undang lain masih bisa. Ada UU ITE, UU KUHP bisa," kata Wiranto di Jakarta, Rabu (27/4).

Pegiat golput sekaligus pengacara publik, Alghiffari Aqsa, menilai keberadaan golput saat ini dianggap mengganggu kekuasaan oleh peserta pemilu karena mempengaruhi kekuatan politik masyarakat. Tidak hanya pemerintah yang bereaksi atas keberadaan golput, tapi pihak oposisi dan sejumlah tokoh nasional ikut berkomentar menyerang mereka yang memilih golput.

"Ini cara-cara yang menurut saya justru tidak mendidik di saat pemerintah sedang mengkampanyekan anti-hoax dan prinsip-prinsip penyebaran informasi yang berhati-hati," kata Alghif saat ditemui di kantornya di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat.


Di Indramayu, Jawa Barat, masyarakat yang menolak PLTU mengikuti kegiatan diskusi dan nonton bareng film Sexy Killers, Kamis (11/4). Namun panitia menerima intimidasi dari Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan polisi setempat.

Salah satu produser, Didit Haryo, mengatakan alasan Panwaslu meminta acara nobar dihentikan karena film tersebut menyinggung dua pasangan capres-cawapres 2019 dan berpotensi memicu kebencian publik.

"Di tengah film diputar, Panwaslu merasa keberatan dengan film tersebut karena menyinggung kandidat yang sedang berkompetisi di pilpres, dia meminta film itu segera disudahi," kata Didit yang saat itu berada di lokasi.

Sutradara Sexy Killers, Dandhy Laksono, mengatakan film itu dibuat sama sekali tak terkait urusan pilpres maupun pandangan politik pribadinya yang memilih golput. Menurutnya isu sumberdaya energi yang disoroti dalam film itu lebih besar daripada sekadar urusan pilpres.

Saat diunggah di Youtube, film itu tembus 1 juta penonton dalam waktu 36 jam. Sebelumnya, Sexy Killers juga ditonton di 476 titik dengan model nonton bareng dan diskusi film.

Film buatannya itu memang diluncurkan jelang pilpres. Namun, Dandhy tak peduli orang lain menyimpulkan bahwa film ini terkait kampanye terselubung golput.

"Kalaupun ini benar terkait golput atau ada kampanye terselubung golput, ngapain harus terselubung, secara terang-terangan juga bisa. Wong Jokowi dan Prabowo bisa kampanye terang-terangan, masa golput enggak boleh kampanye terang-terangan. Tapi kan film ini melampaui itu," kata Dandhy kepada CNNIndonesia.com, Senin (15/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gelombang Protes Pilpres: Saya Golput 2019Komite Politik Alternatif menyerukan solidaritas membangun kekuatan rakyat. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)

Agenda Golput: Ubah Sistem

"Pemilihan Umum telah menipu kita, seluruh rakyat dipaksa gembira..."

Penggalan lagu Mars Pemilu yang liriknya digubah ulang itu dinyanyikan serentak oleh para peserta aksi dari kelompok buruh dan mahasiswa di depan kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta Pusat, Selasa (2/4). Aksi yang mengusung tema "Golput Juga Pilihan, Bangun Partai Massa Rakyat" itu digelar oleh Komite Politik Alternatif.

Akbar Rewako, Pengurus Nasional Sentral Gerakan Buruh Nasional yang mengikuti aksi tersebut mengatakan pihaknya mengusung tiga tuntutan utama dalam unjuk rasa. Pertama, dia menegaskan golput adalah pilihan politik masyarakat yang dilindungi undang-undang.

Kedua, pihaknya menuntut pemerintah dan dan DPR RI untuk merevisi UU Pemilu dan UU Parpol. Akbar mengatakan kedua undang-undang itu memberatkan kekuatan politik yang lahir dari kepentingan masyarakat.


Dia menilai UU Pemilu yang ada saat ini hanya memungkinkan bagi partai pemilik modal besar. Beberapa syaratnya yaitu harus memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan, serta memiliki sekretariat.

"Secara formal itu berat bagi rakyat yang ingin mendirikan partai politiknya sendiri, baik itu buruh, petani," katanya.

Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) beberapa kali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Pasal itu dianggap menghilangkan esensi pilpres. Selain itu undang-undang itu juga tak memberi kesempatan bagi calon independen.

Tuntutan ketiga, seruan membangun kekuatan politik rakyat melalui partai politik. Akbar mengatakan pihaknya tidak bisa berharap dengan partai yang ada saat ini.

"14 partai yang ada bagi kami tidak membawa kepentingan masyarakat. Ketika buruh di PHK, tidak ada partai satu pun yang membela kepentingan buruh, bahkan mereka lebih memihak kepentingan pengusaha," katanya.

Insert Artikel - Memilih untuk tidak memilihInsert Artikel - Memilih untuk tidak memilih. (CNN Indonesia/Fajrian)

Nuy Lestari, Ketua Umum Serikat Mahasiswa Indonesia, yang ikut aksi tersebut menilai pemilu kali ini hanya sekadar ajang formalitas dari para peserta pemilu. Karena itu, golput menjadi pilihan yang rasional.

"Ini suara rakyat yang sudah muak dengan stagnasi situasi politik yang hanya dipegang segelintir orang yang itu-itu saja," kata Nuy.

Pihaknya membuka Posko Golput di sejumlah kampus di Jakarta untuk berbagi ruang soal problem demokrasi hari ini. Dia mengatakan pihak kampus sendiri cukup anti terhadap mahasiswa yang bersikap golput.

"Tapi kami meyakinkan dalam posko itu kami rasionalisasi kepada mahasiswa, dosen, maupun pihak kampus, bahwa golput hari ini cukup realistis," ujarnya.


Di tempat lain, salah satu pegiat golput, Galeshka ikut mendeklarasikan diri sebagai bagian gerakan protes atas sistem politik melalui golput. Menurutnya, masyarakat sudah harus mampu melampaui pilpres dan berpikir kembali sebagai pemilik kedaulatan.

Dia menilai kontestasi elektoral kali ini begitu memecah belah perspektif publik hingga memunculkan berbagai penganiayaan hanya karena perbedaan pilihan politik. Situasi ini dianggap sudah tidak kondusif.

"Kalau kita mendambakan perubahan, yang harus dibangun adalah posisi kedaulatan sesama warga negara alih-alih menyerahkannya ke tangan orang-orang yang kongkalikong di belakang sesuatu ini untuk kepentingan mereka sendiri," kata Galeshka saat ditemui di Gedung YLBHI, Jakarta.

Akhir pekan lalu, dia bersama puluhan orang lainnya membacakan sebuah maklumat berjudul "Memilih untuk Tidak Memilih". Dalam maklumat itu, pihaknya juga menyampaikan Kertas Putih Golongan Putih 2019 berisi sepuluh agenda perjuangan rakyat usai pemilu.

"Oleh karena itu, kami rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih, dengan ini menyatakan memilih untuk tidak memilih. Pilihan ini adalah hak yang dijamin oleh konstitusi. Siapa pun yang akan terpilih, kami tetap terus berjuang untuk mengembalikan kedaulatan rakyat." Demikian bunyi penutup maklumat tersebut.

Gema Golput, Aksi Protes Menentang Pilpres 2019Proses distribusi surat suara dimulai pada 14 April, tiga hari jelang hari pencoblosan. (CNN Indonesia/Safir Makki)

KPU sendiri menyatakan keputusan seseorang memilih golput adalah hak setiap warga negara Indonesia yang diatur undang-undang. Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2019 menjamin setiap warga negara menentukan hak politiknya.

Meski demikian, KPU meminta warga untuk tidak golput karena pemilu saat ini dianggap lebih demokratis dibandingkan masa Orde Baru. Komisioner KPU Viryan Aziz mengingatkan orang yang memilih golput akan rugi karena tak ikut menentukan pemimpin bangsa.

"Nasib kita nanti ditentukan oleh mereka. Sekarang nasib mereka ditentukan oleh kita, setelah pemilu selama 5 tahun nasib kita ditentukan mereka," ucapnya.


Pemilu 2019 dilaksanakan pada 17 April 2019. Untuk pertama kali, Indonesia menggelar pemilihan DPR, DPRD, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden secara serentak.

Tercatat ada 190.770.329 pemilih di dalam negeri dan 2.058.191 pemilih di luar negeri. KPU menargetkan partisipasi pemilih sebanyak 77,5 persen.

Golput hanya pilihan politik alternatif masyarakat di antara pilihan yang ditawarkan partai politik. Pekerjaan besar pasca-pemilu menanti warga yang ingin mewujudkan perubahan sistem politik yang lebih berpihak pada masyarakat.

(pmg/gil)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER