Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai keputusan Menkopolhukam
Wiranto yang berencana membentuk tim hukum nasional untuk merespons tindakan, ucapan, maupun pemikiran tokoh yang mengarah pada perbuatan melawan hukum tidak benar.
Menurutnya, pembentukan tim itu justru akan menjadi peredam suara-suara kritis yang sah dan berpotensi penuntutan pidana atas mereka yang bersuara justru makin meroket.
"Karenanya, Presiden [
Joko Widodo/Jokowi] perlu menegur Menkopolhukam dan segera menegaskan bahwa pembentukan Tim itu tidak diperlukan," ujar Usman saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Selasa (7/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usman menegaskan Pemerintah Indonesia tidak boleh menggunakan tindakan keras dan membiarkan seseorang baik warga biasa, aktivis maupun tokoh oposisi untuk mengekspresikan pendapat mereka tentang pemerintah atau tentang lembaga negara.
Namun, Usman menegaskan, untuk menindak hasutan-hasutan berbuat kekerasan maupun ujaran kebencian dengan memanipulasi identitas agama, suku, ras dan asal-usul kebangsaan itu sudah ada hukum yang mengaturnya.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menilai rencana pembentukan tim hukum nasional pemantau ucapan tokoh itu bisa menjadi ancaman ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kebebasan berpendapat dan berekspresi sendiri menjadi hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, Beka memandang pembentukan tim tersebut sebagai sesuatu yang tidak perlu karena Indonesia sudah memiliki aparat penegak hukum.
"Seharusnya Pak Wiranto berkoordinasi dengan Kepolisian untuk memaksimalkan kerja-kerja mereka dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip hak asasi manusia," ujar Beka saat dihubungi via aplikasi pesan.
 Menkopolhukam melakukan jumpa pers usai Rapat Koordinasi bersama TNI, Polri, Kejaksaan, Kemenkominfo, Kemendagri, dan Kemenkumham, 6 Mei 2019. (CNN Indonesia/Joko Panji Sasongko |
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani menilai rencana pembentukan tim itu merepresentasikan ketidakpercayaan pemerintah terhadap mekanisme hukum yang berlaku. Yati pun menilai pembentukan tim hukum nasional itu merupakan bentuk kepanikan petahana pascapemilu.
"Ada kepanikan, kekhawatiran sosial politik yang muncul pascapemilu. Seharusnya direspons secara proporsional, biar aturan hukum yang bekerja," ucap dia.
Selain itu, menurut Yati status dan tujuan pembentukan tim juga terkesan sangat subyektif sehingga dapat mengancam kritik yang dilayangkan.
"Subyektivitas tim pemerintah akan rentan terhadap pembungkaman kebebasan berekspresi," imbuhnya.
 Koordinator Badan Pekerja KontraS Yati Andriyani. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho) |
Praktisi hukum Alghiffari Aqsa menyatakan, dengan adanya tim tersebut dikhawatirkan nantinya semakin marak penerapan pasal ujaran kebencian dan pencemaran nama baik yang diatur dalam Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sejauh ini implementasi undang-undang dan pasal ujaran kebencian sudah banyak memakan korban sehingga memicu terbentuknya Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE).
Menurut Alghiffari, ujaran kebencian harus dimaknai sebagai ucapan yang menunjukkan kebencian berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
"Berkata kasar kepada Pemerintah, aparatur penegak hukum, dan Presiden bukanlah ujaran kebencian. Sudah seharusnya Menkopolhukam diisi oleh orang yang mengerti hukum," ujar mantan Direktur LBH Jakarta tersebut.
Sebelumnya, pemerintah berencana membentuk tim hukum nasional untuk merespon tindakan, ucapan, maupun pemikiran tokoh yang mengarah ke perbuatan melawan hukum. Wiranto menerangkan tim tersebut nantinya akan berisi para pakar hukum tata negara dan akademisi dari berbagi perguruan tinggi. Ia mengaku telah mengundang dan mengajak mereka bicara terkait pembentukan tim tersebut.
Menkopolhukam Wiranto mengatakan pemerintah tidak akan memberi ruang bagi tokoh yang melanggar dan melawan hukum. Ia juga menegaskan tidak akan membiarkan ada pihak yang mencerca hingga memaki presiden Jokowi yang masih secara sah menjabat hingga Oktober 2019.
"Tidak bisa dibiarkan rongrongan terhadap negara yang sedang sah, bahkan cercaan, makian, terhadap presiden yang masih sah sampai nanti bulan Oktober tahun ini masih menjadi Presiden. Itu sudah ada hukumnya, ada sanksinya," ujar mantan Panglima ABRI (sekarang TNI) usai rapat koordinasi di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Senin (6/5).
[Gambas:Video CNN] (ryn/kid)