Jakarta, CNN Indonesia -- Untuk pertama kalinya Indonesia menggelar pemilu serentak. Pemilu 2019 menyatukan lima jenis pemilihan sekaligus yakni pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota.
Pemilu ini pun menjadi sorotan dunia, karena selain memiliki jumlah pemilih yang besar pun harus melakukan pada lima surat suara untuk
Pilpres,
Pileg DPR dan DPRD Kabupaten/Kota, serta DPD.
Nyatanya, meski jadi sorotan dunia, pelaksanaan Pemilu 2019 diiringi tragedi kematian ratusan petugas dalam pelaksanaannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga Selasa (7/5), tercatat total 554 petugas KPPS, panwas, dan polisi meninggal terkait pelaksanaan pemungutan suara hingga penghitungan Pemilu 2019 yang melelahkan.
Rinciannya: petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal sebanyak 440 orang dan ada petugas yang sakit 3.788 orang. Kemudian 92 panwaslu meninggal, 398 rawat inap, 1.592 rawat jalan.
Lalu, dari pihak polisi tercatat ada 22 anggota yang tewas karena dinilai keletihan mengawal proes panjang pemilu.
Gagasan pemilu serentak sendiri tidak muncul mendadak sebelum pelaksanaan Pemilu 2019. Ide Pemilu Serentak dimulai justru sebelum Pemilu 2014 silam ketika akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak mengajukan uji materi UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2013.
Sejumlah alasan dikemukakan Effendi cs untuk menggugat UU Pemilu saat itu di antaranya praktik politik transaksional, biaya politik yang tinggi dan mubazir, dan tidak ditegakkannya atau diperkuatnya sistem presidensial dalam pelaksanaan pemilu sesuai amanat UU 42/2008.
Dia menggugat pasal 3 ayat 5 UU 42/2008 yang mengatur Pilpres digelar setelah Pileg, dan pasal-pasal turunan dalam undang-undang tersebut.
Sejumlah pertimbangan disampaikan Effendi dalam permohonan gugatan. Salah satunya asas efisiensi anggaran pemilu.
Dari sisi dasar hukum, Effendi mengklaim pemilu serentak dapat memangkas biaya penyelenggaraan pemilu, khususnya honor penyelenggara yang mencapai 65 persen anggaran.
'
Berdasarkan riset pendahuluan Pemohon, perhitungan pemborosan penyelenggaraan pemilu tidak serentak (berasal dari APBN dan APBD, dan juga pajak warga negara) bisa berkisar antara 5 hingga 10 triliun rupiah dalam hal Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dibuat terpisah dengan Pemilu Anggota DPR/D dan DPD,' demikian salah satu alasan Effendi dalam gugatannya ke dimasukkan ke MK pada 10 Januari 2013.
 Effendi Gazali. (CNN Indonesia/Denny Armandhanu) |
Effendi merinci saat itu Indonesia memiliki sekitar 500 ribu tempat pemungutan suara (TPS) yang dikelola tujuh orang KPPS di masing-masing tempat. Dengan asumsi honor Rp300 ribu per orang, maka akan menelan biaya sekitar Rp1 triliun.
Kemudian ada anggaran Rp116 miliar untuk honor sekitar 232 ribu petugas Panitia Pemilihan Pemungutan Suara (PPS). Angka itu, tulis dokumen tersebut, belum termasuk honor petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di 6.694 kecamatan. Lalu belum dikalikan dengan jenis pemilu yang diselenggarakan tak serentak.
Dalam dokumen itu, Effendi juga menyitir sejumlah tokoh terkait efisiensi anggaran jika pemilu serentak dijalankan.
Pertama, ia mengutip komentar Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah yang menyampaikan pemilu serentak bisa menghemat Rp10 triliun. Pilkada serentak juga disebut bisa menghemat Rp20 hingga Rp26 triliun. Effendi juga meminjam pernyataan Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Arifin Wibowo, yang menyebut pemilu serentak bisa memangkas ongkos hingga Rp150 triliun atau 10 persen APBN dan APBD.
Komentar paling ekstrem yang dikutip Effendi datang dari Jusuf Kalla. JK--yang kini merupakan Wapres pemenang Pemilu 2014--menyatakan pilkada serentak bisa memangkas ongkos US$50 miliar atau Rp450 triliun.
MK kemudian mengabulkan lewat putusan nomor 14/PUU-XI/2013 yang dibacakan pada 23 Januari 2014, dan ditegaskan putusan tersebut baru bisa dilaksanakan untuk Pemilu 2019. Amanat dari putusan MK itu kemudian ditetapkan DPR bersama pemerintah lewat UU Pemilu yang baru yakni UU Nomor 7 Tahun 2017.
Dalam amar putusan yang dihasilkan dari rapat permusyawaratan hakim pada 26 Maret 2013 tersebut terdapat pendapat berbeda (
dissenting opinion) dari satu hakim konstitusi saat itu, Maria Farida Indrati.
Dalam pendapatnya, Maria mengutip putusan 51-52-59/PUU-VI/2008 atas pengujian pasal yang juga digugat Effendi Ghazali. Maria--yang kini bukan lagi hakim konstitusi--berpendapat sesuai putusan 51-52-59/PUU-VI/2008, maka Pilpres harus dilaksanakan setelah DPR dan DPD karena Presiden dan Wakil Presiden dilantik MPR sesuai amanat UUD 1945. MPR adalah lembaga tinggi negara yang terdiri atas gabungan DPD dan DPR.
'
Terlepas dari kemungkinan timbulnya berbagai kesulitan yang akan dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan Pilpres secara terpisah seperti yang dilaksanakan saat ini atau yang dilaksanakan secara bersamaan (serentak) seperti yang dimohonkan Pemohon, hal itu bukanlah masalah konstitusionalitas norma, tetapi merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk Undang-Undang. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, saya berpendapat, permohonan Pemohon haruslah ditolak untuk seluruhnya,' demikian pendapat berbeda Maria dari kesepakatan delapan hakim konstitusi lainnya kala itu yang tercantum dalam
amar putusan MK nomor 14/PUU-XI/2013.[Gambas:Video CNN]
Dalam perjalanannya, proses pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berjalan tak mulus di parlemen.
Pengesahan diwarnai aksi
walkout dari Fraksi Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi PKS, dan Fraksi PAN. Tapi bukan soal Pemilu serentak yang diprotes mereka, namun ketentuan ambang batas pencalonan presiden (
presidential treshold) 20 persen yang diajukan pemerintahan Jokowi.
UU Pemilu pun sempat menuai polemik hingga diteken Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2017. Akhirnya Indonesia resmi melaksanakan lima jenis pemilu secara serentak untuk pertama kalinya.
Selain pelaksanaan pemilu serentak, setidaknya ada lima hal krusial dari UU Pemilu yang telah disahkan dan diteken sang presiden tersebut. Lima hal itu adalah ambang batas pencalonan presiden atau
Presidential Threshold minimal 20 persen kursi di DPR dan/atau 25 persen suara sah nasional pemilu sebelumnya, ambang batas perolehan suara parpol untuk masuk parlemen (
Parliamentary Threshold) sebesar 4 persen, sistem pemilu terbuka, alokasi kursi per dapil 3-10, dan metode konversi suara
sainte lague murni (bilangan pembagi suara berangka ganjil).
Korban Demokrasi BerjatuhanDalam tahap persiapan, KPU menemui sejumlah rintangan yang bersumber dari UU Pemilu. Salah satunya aturan batas masa penghitungan suara yang diatur Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu.
Pasal itu mengatur proses pemungutan dan penghitungan suara harus dirampungkan pada hari yang sama. Padahal, dalam beberapa kali simulasi, KPU menemukan proses pemungutan dan penghitungan suara ternyata melebihi waktu yang ditentukan.
Aturan itu pun digugat sejumlah perwakilan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, ahli hukum tata negara Feri Amsari. Selain itu, ada masyarakat sipil yang juga narapidana yakni Augus Hendy, Murogi Bin Sabar, M Nurul Huda, dan Sutrisno.
Akhirnya MK memutus penghitungan suara bisa ditambah 12 jam jika belum rampung dan tidak boleh ditunda. Namun, putusan tanggal 28 Maret 2019 ini menimbulkan masalah lain, yakni waktu kerja petugas KPPS bertambah tanpa kesempatan beristirahat.
Pemilu 2019 pun bergulir pada 17 April 2019. Dunia yang awalnya menyoroti pencapaian baru sistem demokrasi, justru berbalik menyoroti kegagalan sistem baru ini.
Jumlah petugas yang tewas pun naik drastis dari Pemilu 2014 yang tak menerapkan sistem serentak. Data KPU mencatat 144 orang petugas KPPS meninggal dunia pada 2014.
Usai dipertanyakan publik, KPU, dan Kementerian Keuangan setuju menyantuni para petugas KPPS. Jumlah santunan yang direstui Menteri Keuangan Sri Mulyani adalah Rp36 juta untuk setiap petugas meninggal dunia, maksimal Rp30 juta untuk penyandang cacat, dan Rp16 juta untuk luka-luka.
Gelaran acara Tabur bunga di Bundaran HI, merupakan bentuk belasungkawa terhadap para petugas yang mengawal dan melaksankan gelaran pemilu di seluruh Indonesia. Pada mereka yang gugur pun disematkan sebagai Pejuang Demokrasi Pemilu 2019. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Banyaknya korban berguguran akhirnya membuat konsep pemilu serentak pun dipertanyakan. Bahkan KPU beberapa kali mengusulkan untuk mengkaji ulang format pemilu serentak.
Komisioner KPU Hasyim Asy'ari sempat menyebut ada opsi memisahkan pemilu serentak nasional dan daerah untuk 'pesta demokrasi' mendatang.
"Salah satu rekomendasinya adalah Pemilu Serentak dua jenis, yaitu Pemilu Serentak Nasional untuk Pilpres, Pemilu DPR dan DPD. Lalu Pemilu Serentak Daerah untuk Pilkada Gubernur dan Bupati/Walikota; dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota," kata Hasyim lewat keterangan tertulis, Selasa (23/4).
Sementara Komisioner KPU Viryan Aziz mengusulkan penggunaan sistem hitung elektronik atau e-counting pada pemilu selanjutnya.
"Patut mempertimbangkan penggunaan mekanisme
e-counting. Jadi pemungutan suaranya secara manual menggunakan surat suara, tapi penghitungan suaranya itu secara elektronik," kata Viryan di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (24/4).
Di satu sisi, penggugat pelaksanaan pemilu tak serentak, Effendi Gazali menuding menyatakan Pemilu 2019 hancur karena sistem ambang batas presidensial atau presidential threshold (PT).
Menurut Effendi, penerapan sistem
presidential threshold terkesan sebagai upaya membatasi agar pertarungan di Pilpres 2019 hanya menghadirkan dua paslon.
"Semua hancur gara-gara
presidential threshold, yang lebih terlihat sebagai upaya melarang putra dan putri terbaik bangsa untuk ikut masuk dalam kompetisi pilpres. Bahkan, ada kesan ingin membatasi agar hanya terdapat satu pasangan kompetitor dan kalau bisa dicari kompetitor yang terlemah," kata Effendi lewat pesan singkat kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (24/4).
Dia menilai penerapan sistem PT ini membuat penyelenggara, pengawas, dan pihak keamanan kehabisan waktu, tenaga, serta energi untuk menangani konflik antara dua kubu yang bertarung di Pilpres 2019.
"Pemilu dua kubu akan menghasilkan konflik 100 persen. Lain kalau misalnya pasangan capresnya ada lima seperti 2004. Maka konflik akan terbagi menjadi bersegi lima," ujarnya.
Effendi menuturkan pihaknya telah berulang kali mengeluarkan pernyataan di media usai UU Pemilu lahir di 2017 untuk menyarankan agar regulasi yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilu secara serentak dibatalkan.
Menurut dia, sistem
presidential threshold yang ikut tertuang dalam regulasi itu telah merenggut jiwa pelaksanaan pemilu secara serentak.
"Jadi kami pun, pengaju
judicial review ke MK, sudah meminta dari jauh hari agar pemilu serentak versi UU Pemilu dibatalkan saja, kembali ke pemilu seperti 2014," ucapnya.