Jalan Panjang Pemilu Serentak 2019 yang Telan Ratusan Nyawa

CNN Indonesia
Rabu, 08 Mei 2019 11:44 WIB
KPU mencatat ada 440 anggota KPPS yang meninggal saat bertugas di Pemilu 2019. Sementara anggota Panwaslu yang meninggal 92 orang dan anggota Polri 22 orang.
Anggota KPPS memastikan titik pencoblosan surat suara pada penghitungan hasil pemilihan Calon Legislator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di TPS 05 Kelurahan Lolu Utara, Palu, Sulawesi Tengah, 17 April 2019. (ANTARA FOTO/Basri Marzuki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Untuk pertama kalinya Indonesia menggelar pemilu serentak. Pemilu 2019 menyatukan lima jenis pemilihan sekaligus yakni pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota.

Pemilu ini pun menjadi sorotan dunia, karena selain memiliki jumlah pemilih yang besar pun harus melakukan pada lima surat suara untuk Pilpres, Pileg DPR dan DPRD Kabupaten/Kota, serta DPD.

Nyatanya, meski jadi sorotan dunia, pelaksanaan Pemilu 2019 diiringi tragedi kematian ratusan petugas dalam pelaksanaannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hingga Selasa (7/5), tercatat total 554 petugas KPPS, panwas, dan polisi meninggal terkait pelaksanaan pemungutan suara hingga penghitungan Pemilu 2019 yang melelahkan.

Rinciannya: petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal sebanyak 440 orang dan ada petugas yang sakit 3.788 orang. Kemudian 92 panwaslu meninggal, 398 rawat inap, 1.592 rawat jalan.

Lalu, dari pihak polisi tercatat ada 22 anggota yang tewas karena dinilai keletihan mengawal proes panjang pemilu.


Gagasan pemilu serentak sendiri tidak muncul mendadak sebelum pelaksanaan Pemilu 2019. Ide Pemilu Serentak dimulai justru sebelum Pemilu 2014 silam ketika akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak mengajukan uji materi UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2013.

Sejumlah alasan dikemukakan Effendi cs untuk menggugat UU Pemilu saat itu di antaranya praktik politik transaksional, biaya politik yang tinggi dan mubazir, dan tidak ditegakkannya atau diperkuatnya sistem presidensial dalam pelaksanaan pemilu sesuai amanat UU 42/2008.

Dia menggugat pasal 3 ayat 5 UU 42/2008 yang mengatur Pilpres digelar setelah Pileg, dan pasal-pasal turunan dalam undang-undang tersebut.

Sejumlah pertimbangan disampaikan Effendi dalam permohonan gugatan. Salah satunya asas efisiensi anggaran pemilu.

Dari sisi dasar hukum, Effendi mengklaim pemilu serentak dapat memangkas biaya penyelenggaraan pemilu, khususnya honor penyelenggara yang mencapai 65 persen anggaran.

'Berdasarkan riset pendahuluan Pemohon, perhitungan pemborosan penyelenggaraan pemilu tidak serentak (berasal dari APBN dan APBD, dan juga pajak warga negara) bisa berkisar antara 5 hingga 10 triliun rupiah dalam hal Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dibuat terpisah dengan Pemilu Anggota DPR/D dan DPD,' demikian salah satu alasan Effendi dalam gugatannya ke dimasukkan ke MK pada 10 Januari 2013.

Jalan Panjang Pemilu Serentak yang Menelan Korban Jiwa 500anEffendi Gazali. (CNN Indonesia/Denny Armandhanu)

Effendi merinci saat itu Indonesia memiliki sekitar 500 ribu tempat pemungutan suara (TPS) yang dikelola tujuh orang KPPS di masing-masing tempat. Dengan asumsi honor Rp300 ribu per orang, maka akan menelan biaya sekitar Rp1 triliun.

Kemudian ada anggaran Rp116 miliar untuk honor sekitar 232 ribu petugas Panitia Pemilihan Pemungutan Suara (PPS). Angka itu, tulis dokumen tersebut, belum termasuk honor petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di 6.694 kecamatan. Lalu belum dikalikan dengan jenis pemilu yang diselenggarakan tak serentak.

Dalam dokumen itu, Effendi juga menyitir sejumlah tokoh terkait efisiensi anggaran jika pemilu serentak dijalankan.

Pertama, ia mengutip komentar Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah yang menyampaikan pemilu serentak bisa menghemat Rp10 triliun. Pilkada serentak juga disebut bisa menghemat Rp20 hingga Rp26 triliun. Effendi juga meminjam pernyataan Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Arifin Wibowo, yang menyebut pemilu serentak bisa memangkas ongkos hingga Rp150 triliun atau 10 persen APBN dan APBD.

Komentar paling ekstrem yang dikutip Effendi datang dari Jusuf Kalla. JK--yang kini merupakan Wapres pemenang Pemilu 2014--menyatakan pilkada serentak bisa memangkas ongkos US$50 miliar atau Rp450 triliun.


MK kemudian mengabulkan lewat putusan nomor 14/PUU-XI/2013 yang dibacakan pada 23 Januari 2014, dan ditegaskan putusan tersebut baru bisa dilaksanakan untuk Pemilu 2019. Amanat dari putusan MK itu kemudian ditetapkan DPR bersama pemerintah lewat UU Pemilu yang baru yakni UU Nomor 7 Tahun 2017.

Dalam amar putusan yang dihasilkan dari rapat permusyawaratan hakim pada 26 Maret 2013 tersebut terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari satu hakim konstitusi saat itu, Maria Farida Indrati.

Dalam pendapatnya, Maria mengutip putusan 51-52-59/PUU-VI/2008 atas pengujian pasal yang juga digugat Effendi Ghazali. Maria--yang kini bukan lagi hakim konstitusi--berpendapat sesuai putusan 51-52-59/PUU-VI/2008, maka Pilpres harus dilaksanakan setelah DPR dan DPD karena Presiden dan Wakil Presiden dilantik MPR sesuai amanat UUD 1945. MPR adalah lembaga tinggi negara yang terdiri atas gabungan DPD dan DPR.

'Terlepas dari kemungkinan timbulnya berbagai kesulitan yang akan dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan Pilpres secara terpisah seperti yang dilaksanakan saat ini atau yang dilaksanakan secara bersamaan (serentak) seperti yang dimohonkan Pemohon, hal itu bukanlah masalah konstitusionalitas norma, tetapi merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk Undang-Undang. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, saya berpendapat, permohonan Pemohon haruslah ditolak untuk seluruhnya,' demikian pendapat berbeda Maria dari kesepakatan delapan hakim konstitusi lainnya kala itu yang tercantum dalam amar putusan MK nomor 14/PUU-XI/2013.


[Gambas:Video CNN]

<i>Walkout</i> Saat Pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2017

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER