Jalan Panjang Pemilu Serentak 2019 yang Telan Ratusan Nyawa

CNN Indonesia
Rabu, 08 Mei 2019 11:44 WIB
KPU mencatat ada 440 anggota KPPS yang meninggal saat bertugas di Pemilu 2019. Sementara anggota Panwaslu yang meninggal 92 orang dan anggota Polri 22 orang.
Petugas KPPS melakukan penghitungan suara Pemilu serentak 2019 hingga malam hari di TPS 92, Depok, Jawa Barat, 17 April 2019.(ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)
Dalam perjalanannya, proses pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berjalan tak mulus di parlemen.

Pengesahan diwarnai aksi walkout dari Fraksi Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi PKS, dan Fraksi PAN. Tapi bukan soal Pemilu serentak yang diprotes mereka, namun ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) 20 persen yang diajukan pemerintahan Jokowi.

UU Pemilu pun sempat menuai polemik hingga diteken Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2017. Akhirnya Indonesia resmi melaksanakan lima jenis pemilu secara serentak untuk pertama kalinya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain pelaksanaan pemilu serentak, setidaknya ada lima hal krusial dari UU Pemilu yang telah disahkan dan diteken sang presiden tersebut. Lima hal itu adalah ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold minimal 20 persen kursi di DPR dan/atau 25 persen suara sah nasional pemilu sebelumnya, ambang batas perolehan suara parpol untuk masuk parlemen (Parliamentary Threshold) sebesar 4 persen, sistem pemilu terbuka, alokasi kursi per dapil 3-10, dan metode konversi suara sainte lague murni (bilangan pembagi suara berangka ganjil).


Korban Demokrasi Berjatuhan

Dalam tahap persiapan, KPU menemui sejumlah rintangan yang bersumber dari UU Pemilu. Salah satunya aturan batas masa penghitungan suara yang diatur Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu.

Pasal itu mengatur proses pemungutan dan penghitungan suara harus dirampungkan pada hari yang sama. Padahal, dalam beberapa kali simulasi, KPU menemukan proses pemungutan dan penghitungan suara ternyata melebihi waktu yang ditentukan.

Aturan itu pun digugat sejumlah perwakilan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, ahli hukum tata negara Feri Amsari. Selain itu, ada masyarakat sipil yang juga narapidana yakni Augus Hendy, Murogi Bin Sabar, M Nurul Huda, dan Sutrisno.

Akhirnya MK memutus penghitungan suara bisa ditambah 12 jam jika belum rampung dan tidak boleh ditunda. Namun, putusan tanggal 28 Maret 2019 ini menimbulkan masalah lain, yakni waktu kerja petugas KPPS bertambah tanpa kesempatan beristirahat.

Pemilu 2019 pun bergulir pada 17 April 2019. Dunia yang awalnya menyoroti pencapaian baru sistem demokrasi, justru berbalik menyoroti kegagalan sistem baru ini.

Jumlah petugas yang tewas pun naik drastis dari Pemilu 2014 yang tak menerapkan sistem serentak. Data KPU mencatat 144 orang petugas KPPS meninggal dunia pada 2014.

Usai dipertanyakan publik, KPU, dan Kementerian Keuangan setuju menyantuni para petugas KPPS. Jumlah santunan yang direstui Menteri Keuangan Sri Mulyani adalah Rp36 juta untuk setiap petugas meninggal dunia, maksimal Rp30 juta untuk penyandang cacat, dan Rp16 juta untuk luka-luka.

Jalan Panjang Pemilu Serentak yang Menelan Korban Jiwa 500anGelaran acara Tabur bunga di Bundaran HI, merupakan bentuk belasungkawa terhadap para petugas yang mengawal dan melaksankan gelaran pemilu di seluruh Indonesia. Pada mereka yang gugur pun disematkan sebagai Pejuang Demokrasi Pemilu 2019. (CNN Indonesia/Andry Novelino)


Banyaknya korban berguguran akhirnya membuat konsep pemilu serentak pun dipertanyakan. Bahkan KPU beberapa kali mengusulkan untuk mengkaji ulang format pemilu serentak.

Komisioner KPU Hasyim Asy'ari sempat menyebut ada opsi memisahkan pemilu serentak nasional dan daerah untuk 'pesta demokrasi' mendatang.

"Salah satu rekomendasinya adalah Pemilu Serentak dua jenis, yaitu Pemilu Serentak Nasional untuk Pilpres, Pemilu DPR dan DPD. Lalu Pemilu Serentak Daerah untuk Pilkada Gubernur dan Bupati/Walikota; dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota," kata Hasyim lewat keterangan tertulis, Selasa (23/4).

Sementara Komisioner KPU Viryan Aziz mengusulkan penggunaan sistem hitung elektronik atau e-counting pada pemilu selanjutnya.

"Patut mempertimbangkan penggunaan mekanisme e-counting. Jadi pemungutan suaranya secara manual menggunakan surat suara, tapi penghitungan suaranya itu secara elektronik," kata Viryan di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (24/4).


Di satu sisi, penggugat pelaksanaan pemilu tak serentak, Effendi Gazali menuding menyatakan Pemilu 2019 hancur karena sistem ambang batas presidensial atau presidential threshold (PT).

Menurut Effendi, penerapan sistem presidential threshold terkesan sebagai upaya membatasi agar pertarungan di Pilpres 2019 hanya menghadirkan dua paslon.

"Semua hancur gara-gara presidential threshold, yang lebih terlihat sebagai upaya melarang putra dan putri terbaik bangsa untuk ikut masuk dalam kompetisi pilpres. Bahkan, ada kesan ingin membatasi agar hanya terdapat satu pasangan kompetitor dan kalau bisa dicari kompetitor yang terlemah," kata Effendi lewat pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Rabu (24/4).

Dia menilai penerapan sistem PT ini membuat penyelenggara, pengawas, dan pihak keamanan kehabisan waktu, tenaga, serta energi untuk menangani konflik antara dua kubu yang bertarung di Pilpres 2019.

"Pemilu dua kubu akan menghasilkan konflik 100 persen. Lain kalau misalnya pasangan capresnya ada lima seperti 2004. Maka konflik akan terbagi menjadi bersegi lima," ujarnya.

Effendi menuturkan pihaknya telah berulang kali mengeluarkan pernyataan di media usai UU Pemilu lahir di 2017 untuk menyarankan agar regulasi yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilu secara serentak dibatalkan.

Menurut dia, sistem presidential threshold yang ikut tertuang dalam regulasi itu telah merenggut jiwa pelaksanaan pemilu secara serentak.

"Jadi kami pun, pengaju judicial review ke MK, sudah meminta dari jauh hari agar pemilu serentak versi UU Pemilu dibatalkan saja, kembali ke pemilu seperti 2014," ucapnya.

(dhf/kid)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER