Di sisi lain, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengkritik Polri yang menggunakan pasal makar untuk menjerat HS. Ia menilai penggunaan pasal makar terhadap HS tak tepat dan berlebihan.
Bunyi Pasal 104 KUHP yakni, "Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun."
Asfinawati mengatakan seharusnya Polri bisa menjerat HS dengan Pasal 156 KUHP tentang permusuhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal 156 KUHP berbunyi, "Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500".
Selain menggunakan Pasal 156 KUHP, ia menyebut polisi juga dapat menerapkan aturan dalam Pasal 335 KUHP. Pasal tersebut terdiri dari 2 ayat.
Pada Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP berbunyi, "Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain."
"Dia bisa kena pasal permusuhan 156 (KUHP) kalau dikaitkan dengan suatu kelompok di masyarakat. Atau Pasal 335 (KUHP) kalau ada unsur memaksa melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu," kata Asfinawati kepada
CNNIndonesia.com.
Asfinawati menyatakan yang paling terkena dampaknya dalam penerapan pasal makar ini adalah rakyat kecil. Kata dia, kalau elite politik yang dijerat dengan pasal makar pada umumnya akan terjadi barter ataupun lobi-lobi politik.
"Lihat saja, banyak yang proses hukumnya tidak berjalan. Akhirnya penegak hukum jadi ikut dalam negosiasi politik," ujarnya.
Namun, dorongan agar pemerintah memberikan pendidikan politik kepada HS bertolak belakang dari keinginan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Moeldoko menginginkan agar Polri tetap menindak pria yang mengancam akan memenggal kepala Jokowi.
Ia pun menyoroti tingkah laku masyarakat yang terang-terangan melanggar hukum, namun setelah Polri mengambil tindakan mereka langsung meminta maaf. Ia sudah meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk tetap menindak.
"Apa-apa ini yang begini, saya sudah sampaikan kepada Kapolri, jangan lagi ada (kata) maaf, tindak saja. Nanti diberi maaf makin enggak tertib," ujar mantan Panglima TNI itu, Selasa (14/5).
Moeldoko mengatakan masyarakat yang melanggar hukum tetap ditindak agar nantinya tak mengulangi perbuatannya. Menurut pensiunan jenderal bintang empat itu, negara bisa menjadi 'chaos' bila pelanggaran hukum dibiarkan.
"Nanti negara ini menjadi
chaos, negara ini menjadi anarkis, negara ini menjadi tidak tertib. Negara ini harus tetap tertib, enggak boleh sembarangan," tuturnya.
(fra/kid)