KPK Surati Tiga Lokasi di Singapura Terkait Penyidikan BLBI

CNN Indonesia
Senin, 10 Jun 2019 18:39 WIB
Wakil Ketua KPK mengatakan pihaknya mengirim surat ke 3 alamat di Singapura dan 1 di Jakarta terkait penyidikan BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan pihaknya mengirim surat ke 3 alamat di Singapura dan 1 di Jakarta terkait penyidikan BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah resmi menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, sebagai tersangka kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Sjamsul diduga sebagai pihak yang diperkaya Rp4,58 triliun dalam kasus ini. Oleh karena itu, Sjamsul dan istrinya dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam kasus ini, KPK sudah memanggil Sjamsul dan Itjih sebanyak tiga kali pada 2018 silam. Namun, pasutri tersebut tidak memenuhi panggilan penyidik KPK.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan sebagai pemenuhan hak tersangka, Pada 17 Mei 2019, lembaganya pun telah mengirimkan informasi pemberitahuan dimulainya penyidikan dengan tersangka Sjamsul dan Itjih ke sejumlah lokasi.


Setidaknya ada tiga lokasi di Singapura dan satu lokasi di Indonesia yakni The Oxley Singapore, Cluny Road Singapore, Head Office of Giti Tire Pte.Ltd Singapore, dan rumah Sjamsul yang beralamat di Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta, Indonesia.

"Dikarenakan tersangka SJN diduga sebagai pihak yang diperkaya Rp4,58 triliun dalam kasus korupsi ini, maka KPK akan memaksimalkan upaya asset recovery agar uang yang dikorupsi dapat kembali kepada masyarakat melalui mekanisme keuangan negara," kata Laode di markas KPK, Jakarta, Senin (10/6).

Laode memaparkan perkara ini berawal pada 21 September 1998 silam. Saat itu, BPPN dan Sjamsul melakukan penandatanganan penyelesaian pengambilalihan pengelolaan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).

Dalam MSAA tersebut, kata Laode, disepakati BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan SJN sebagai pemegang saham pengendali serta sepenuhnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajibannya baik secara tunai ataupun berupa penyerahan aset.

"Jumlah kewajiban Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP) BDNI adalah sebesar Rp47.258.000.000.000 Kemudian kewajiban tersebut dikurangi dengan aset sejumlah Rp18.850.000.000.000 termasuk di antaranya: pinjaman kepada petani petambak sebesar Rp4,8 Triliun," kata Laode.

Laode menyebutkan aset senilai Rp4,8 triliun ini dipresentasikan Sjamsul seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah. Namun, setelah dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi.

Atas hasil FDD dan LDD tersebut, lanjut Laode, BPPN kemudian mengirimkan surat yang intinya mengatakan Sjamsul telah melakukan misrepresentasi dan meminta yang bersangkutan menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN. Namun, Sjamsul menolak.

"Pada bulan Oktober 2003, agar rencana penghapusbukuan piutang penambak Dipasena bisa berjalan, maka dilakukan rapat antara BPPN dan pihak Sjamsul yang diwakili istrinya, Itjih serta pihak lain. Pada rapat tersebut Itjih menyampaikan Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi," kata Laode.

Laode menyebutkan pada Februari 2004, dilakukan rapat kabinet terbatas yang intinya BPPN melaporkan dan meminta pada Presiden RI saat itu, Megawati Soekarnoputri, agar terhadap sisa utang petani tambak dilakukan write off (penghapusbukuan).

Hanya saja hal itu dilakukan dengan tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsul. Pada akhirnya, ratas tersebut tidak memberikan keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap usulan write off dari BPPN.

Setelah melalui beberapa proses, meskipun ratas tidak memberikan persetujuan, pada 12 April 2004 Syafrudin Arsyas Temenggung dan Itjih menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir yang pada pokoknya berisi pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur di MSAA.

"Pada 26 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung menandatangani surat No.SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul," kata Laode.

Hal ini, ucap Laode mengakibatkan hak tagih atas utang petambak Dipesena menjadi hilang. Selanjutnya, tutur Laode, pada 30 April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih utang petambak PT DCD dan PT WM yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).

"Pada tanggal 24 Mei 2007 PPA melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp.220.000.000.000,- padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 triliun, sehingga, diduga kerugian keuangan negara yang terjadi adalah sebesar Rp4,58 triliun," ujarnya.

Dalam kasus ini, Sjafrudin telah divonis dan diganjar hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp1 miliar subsidair tiga bulan kurungan oleh Pengadilan Tinggi DKI dalam putusan banding.

(sah/kid)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER