Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu memberikan kesaksian soal pejabat BUMN yang seharusnya tidak mengikuti kontestasi politik. Kesaksian Said Didu berkaitan dengan status cawapres Ma'ruf Amin yang masih menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas Bank Syariah Mandiri serta BNI Syariah.
"Pada 2009 muncul UU Pemilu disebutkan pejabat BUMN. Bukan pengurus BUMN. Ini yang harus mundur apabila jadi jabatan politik," ucap Said dalam sidang di MK, Jakarta, Rabu (19/6).
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu memberikan kesaksian soal pejabat BUMN yang seharusnya tidak mengikuti kontestasi politik. Dia bicara soal itu sebagai saksi dari tim hukum Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi di sidang sengketa Pilpres 2019 di MK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kesaksian Said Didu berkaitan dengan status cawapres Ma'ruf Amin yang masih menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas Bank Syariah Mandiri serta BNI Syariah.
"Pada 2009 muncul UU Pemilu disebutkan pejabat BUMN. Bukan pengurus BUMN. Ini yang harus mundur apabila jadi jabatan politik," ucap Said dalam sidang di MK, Jakarta, Rabu (19/6).
Saat diberi kesempatan bertanya, Kuasa Hukum KPU Ali Nurdin mencecar Said soal regulasi yang mengatur tentang pejabat BUMN sebagai pejabat negara.
"Saya katakan tadi, saya tidak temukan nomenklatur pejabat BUMN kecuali di UU Tipikor dan UU Pemilu," jawab Said.
Ali lalu kembali bertanya ke Said soal pasal berapa di UU Tipikor yang menyebut frasa 'pejabat BUMN'.
"Di undang-undang menyebutkan yang melaporkan LHKPN adalah pejabat negara termasuk itu pejabat BUMN," jawab Said.
Ali Nurdin lantas menyudahi sesi tanya-jawab. Dia menjelaskan tidak ada di UU Tipikor yang menyebut frasa pejabat BUMN.
"Baik, bagi kami itu sudah cukup, Yang Mulia, karena ternyata tidak ada aturan terkait yang mengatur tentang pejabat negara," ucap Ali.
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih pun menimpali Ali, "Iya itu kan kewajiban LHKPN."
Intimidasi dan AncamanSelain itu, Nur Lathifah pun mengaku mendapatkan intimidasi terkait video yang ia rekam di TPS tersebut dan ternyata
viral. Saat ditanya hakim bentuk intimidasi yang diterima, Lathifah mengatakan pada malam 19 April 2019 atau dua hari setelah hari pencoblosan, dirinya dipanggil ke sebuah tempat di mana di sana sudah ada Ketua KPPS, tokoh masyarakat, tokoh agama, kader partai, aparat desa, dan sejumlah orang lain.
"Saya dituduh sebagai penjahat politik di sana," ujar Lathifah menjawab pertanyaan hakim Suhartoyo soal substansi intimidasi.
Ia mengaku di sana ia ditanya soal video
viral, namun Lathifah membantah posisinya hanya sebagai relawan dan tak tahu mengapa video di TPS itu
viral saat memberikan klarifikasi dalam pertemuan itu.
Terkait kasus di Dusun Winongsari, Ketua Bawaslu Abhan menyebut ada pelanggaran prosedur tata cara pemilihan. Sebab, tak ada formulir pendampingan pemilih. Pihaknya pun merekomendasikan pemungutan suara ulang di TPS tersebut.
Beti juga menyebut ia mendapat ancaman berupa kloning ponsel, rumor bahwa ia dan suaminya akan mengebom KPU dalam akun media sosial, serta melakukan pesanan secara daring meski tak pernah melakukannya.
Saat menanggapi pengakuan Beti soal ancaman yang diterimanya, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyatakan, "Jadi soal rasa, perasaan ya."
Senada, pakar IT Hermansyah yang menjadi saksi dalam sidang kemarin pun mengaku merasakan intimidasi. Dia mengaku merasa terancam karena sering ada mobil yang berhenti di depan rumahnya. Hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna pun mempertanyakan kenapa tak lapor polisi. Hermansyah pun mengaku belum lapor karena merasa tak menerima ancaman secara fisik.
Tim Hukum Prabowo-Sandi menghadirkan (kiri-kanan) Listiani, Nur Latifa, Tri Hartanto, Beti Kristiana sebagai saksi di Sidang Sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi, Jakarta (19/6). (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Keterangan Ahli Kubu PrabowoDalam keterangannya kepada MK, ahli
biometric software development yang dihadirkan tim hukum Prabowo-Sandi, Jaswar Koto, mengatakan data perolehan suara dalam
quick count digunakan untuk Sistem Informasi Penghitungan (Situng) dan rekapitulasi manual yang dilakukan KPU.
Dia berasumsi demikian karena angka yang muncul tidak jauh berbeda.
"Kalau analisa saya, kita harus melihat dari
quick count, karena
quick count itu memberikan input kepada situng, dan ke rekapitulasi berjenjang. Kenapa, karena jumlahnya sama," ucap pria yang memberi judul keterangannya 'Membongkar Kecurangan Kooperatif Terstruktur, Sistematis, dan Masif menggunakan IT Forensik'.
Sementara itu, ahli lain yakni Soegianto Sulistiono menerangkan dugaan kecurangan oleh KPU dengan dasar bukti penemuan hingga lima puluhan ribu data invalid.
"Saya menemukan sekitar 57 ribu yang saya istilahkan data invalid. Termasuk yang C1 itu enggak ada," ujar Soegianto saat memberi keterangan di MK, Kamis (20/6) dini hari.
Soegianto mengatakan dirinya bersama dengan tim setiap hari melakukan pemantauan Situng KPU sehingga meyakini soal keberadaan data invalid tersebut. Dalam pemantauannya, kata Soegianto, ada keanehan di mana Jokowi-Ma'ruf mengalami kenaikan yang signifikan. Sementara kenaikan perolehan suara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terus melambat.
(kid/dea)