Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (
BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut proses modifikasi cuaca dengan hujan buatan terkendala dengan ketiadaan awan.
Hal ini dikatakan terkait penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sejumlah wilayah di Indonesia.
Dwikorita menuturkan BMKG bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah siaga dalam persoalan karhutla sejak enam bulan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Persoalannya saat ini untuk membuat hujan buatan itu perlu bibit awan," ujar Dwikorita di Kantornya, Kemayoran, Jum'at (16/8).
"Tadi kalau kita lihat citra satelit dari Himawari [-8 Rainfall Potential] saat ini di atas Kepulauan Indonesia itu bersih, tidak terlihat awan," sambungnya.
Dwikorita menjelaskan saat ini sudah dibangun dua posko di Halim dan Kupang sebagai markas koordinasi operasi. Dalam hal ini, kata dia, BMKG berperan untuk menganalisa dan memprediksi kemungkinan penyemaian awan.
"Sehingga, kami [BMKG] masih berharap untuk kondisi yang mikro ini kalau ada sedikit awan yang bisa dijadikan hujan disemprot, disemai, dijadikan hujan buatan. Kami koordinasikan dengan BPPT, BNPB, dan bersama dengan TNI," terang dia.
Dwikorita menambahkan modifikasi cuaca dengan hujan buatan sedianya diprioritaskan untuk sentra pangan pertanian. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi gagal panen.
"Justru hujan buatan itu prioritasnya untuk lumbung pangan; sentra pangan. Sehingga, kalau hujan tidak turun di sana, panen bisa terganggu. Jadi, prioritasnya lebih untuk daerah sentra pangan," tuturnya.
Sebelumnya, BMKG memperkirakan musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia terjadi pada Oktober, dengan puncak di awal 2020.
Karhutla, dan sejumlah titik panas, sendiri masih menyala di beberapa wilayah, seperti Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat.
[Gambas:Video CNN] (ryn/arh)