WAWANCARA KHUSUS

Fahri Hamzah Blak-blakan soal Jokowi dan KPK

Ramadhan Rizki | CNN Indonesia
Senin, 30 Sep 2019 07:34 WIB
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dalam wawancara khusus bersama CNNIndonesia.com menegaskan kinerja DPR tak bisa diukur oleh jumlah UU dan kehadirannya.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. (CNN Indonesia/Artho Viando)
Revisi Undang Undang KPK diusulkan 5 September kemudian diketok palu jadi UU 18 September. Ini memicu kontroversi.

Rancangan Undang Undang KPK itu mulai diusulkan untuk direvisi tahun 2010, kebetulan saya adalah pimpinan Komisi III. Yang mengusulkan waktu itu ketuanya Pak Benny K Harman, kemudian dimulai pembahasan 2011, 2012 di Badan Legislasi. Lalu presiden SBY waktu itu mengatakan waktunya tidak tepat lalu berhenti. Nah, DPR 2014 berkonsultasi dengan presiden dan mengusulkan kembali kepada presiden ini ada masalah. Tentu setelah ada agregasi, enggak mungkin kita mengubah undang-undang kalau tidak ada aspirasi dari masyarakat atau dari stakeholder bukan cuma masyarakat tapi semuanya, termasuk juga pemegang kendali dari subsistem-subsistem penegakan hukum dan birokrasi serta administrasi negara. Mereka juga punya hak untuk mengusulkan kepada DPR, inilah yang didengar. Nah, rapat konsultasi berikutnya RUU belum kita mulai pembahasannya tetapi dimasukkan dalam Prolegnas mulai tahun 2014. Jadi dalam Prolegnas 2014-2019 kalau tidak salah nomor 69 itu ada Revisi Undang Undang KPK.

Masuk Prolegnas dari awal, 2014 dan itu tidak pernah diubah bahkan berkali-kali masuk ke dalam Prolegnas prioritas, termasuk yang terakhir. Begitulah prosesnya berjalan 2014, 2015, 2016, 2017. Sosialisasi berlangsung karena pada waktu 2015 konsultasinya pemerintah mengatakan kita bentuk tim masing-masing untuk sosialisasi. Kita bentuk tim di DPR untuk sosialisasi, mereka keliling. Bahkan ada kampus yang menolak karena ini dianggap kayak kitab suci, enggak boleh dibahas ini sudah baku. Tapi kita terus bertemu. Ada notulensi, ada laporan dan sebagainya. Itu semua kita bahas termasuk mengundang KPK meskipun pimpinan KPK sering tidak mau datang, tapi sekarang kan minta. Ya, kan?

Cepat sekali pengesahannya. Masyarakat bertanya-tanya...

Presiden itu bisa bikin undang-undang dalam sejam pakai Perppu. Kalau DPR itu malah panjang ceritanya musti dimasukin Prolegnas dulu, lalu pada tahapan sosialisasi, lalu apa namanya mengusulkan kepada presiden, lalu presiden mengeluarkan Surpres. Baru kemudian rapat. Kenapa rapatnya cepat? Ya, karena kesepakatannya sudah terbentuk 10 tahun. Itu yang kadang-kadang orang enggak paham bahwa kesepakatan itu dibentuk 10 tahun.
 
Isu-isu kontroversialnya seperti penyadapan, dewan pengawas itu kan hidup juga selama 10 tahun. Tapi enggak digubris oleh DPR keberatan-keberatan dari masyarakat sipil.

Karena itu salah paham semua, KPK salah paham soal penyadapan. KPK menganggap penyadapan itu sebagai tools penegakan hukum tapi sistem kita sebenarnya tidak memungkinkan penyadapan itu sebagai tools. Itu adalah pelanggaran HAM. Jadi filsafatnya di dalam konstitusi penyadapan itu pelanggaran HAM karena itulah apabila dia mau digunakan maka harus memakai undang-undang. Itulah keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-undang ITE Pasal 31 ketika pemerintah menyebutkan peraturan lebih lanjut tentang penyadapan akan diatur melalui peraturan pemerintah, lantas dibatalkan oleh MK dengan kalimat bahwa penyadapan adalah pelanggaran HAM.

Penyadapan tidak boleh diatur melalui PP, kasarnya itu 'kamu mau merampas HAM rakyat enggak boleh pake PP, pakainya undang-undang'. Makanya, seharusnya itu ada undang-undang tentang penyadapan, itu belum terjadi. Nanti juga di dalam undang-undang penyadapan dibuat pertanggungjawaban yang lebih rumit sebab dengan dewan pengawas, KPK meminta izin penyadapan ke dewan pengawas itu jauh lebih melindungi HAM. Daripada SOP seenaknya, bikin penyadapan tanpa ada pengawasan. Di negara demokrasi yang matang lebih rumit. Dia harus punya komite penyadapan: orang disadap dari kapan sampai kapan itu harus ditetapkan. Nanti ketika sadapannya sudah ada mana yang boleh dibawa ke ranah publik untuk diperdengarkan di ruang sidang itu ada mekanismenya lagi, ada tim yang memotong-motong. Di kita ini sembrono. Saya pernah membaca BAP orang yang disadap percakapan tentang seks, hubungan suami istri, segala macam itu lengkap ditampilkan, itu pelanggaran HAM.

SP3 juga demikian. Masa kita bisa percaya KPK enggak mungkin salah. Enggak, lah. KPK kan manusia biasa. Orang-orangnya kan juga ada nafsu, bisa demo lagi. Iya, kan? Itu artinya dia punya nafsu, bisa marah, dan sudah sering ketemu kesalahan-kesalahan bocorin sprindik, main-main iya, kan? Punya tindak pidana juga, ya kan? Ada yang pernah masuk bui. Manusia biasa, jadi kalau ada manusia biasa jangan Anda perlakukan seperti malaikat. Jangan diberikan kewenangan yang tidak boleh diawasi dan jangan memberikan instrumen yang seolah-olah dia enggak mungkin salah.

Malaikat itu enggak mungkin salah karena dari awal dia cuma menyembah Tuhan. Tapi kalau ini kan nangkap orang. Bisa juga dia nangkap orang pesenan orang juga, ya kan. Seperti saya mensinyalirkan gubernur aja ditangkap karena mau dinaikin wakil gubernur, bupatinya ditangkap karena wakil bupatinya mau berkuasa, wali kota juga begitu. Ini enggak boleh, ini enggak boleh dibiarkan. Jadi penyadapan, SP3 lalu kemudian ketundukan kepada sistem ASN dan sebagainya itu harus diterapkan di KPK. Supaya KPK itu menjadi sama seperti lembaga lain. Supaya jadi contoh.

Poin-poin kontroversial itu, faktanya memang memangkas kewenangan, melemahkan KPK.

Semua lembaga penegak hukum keluhannya itu KPK enggak mau koordinasi, enggak mau supervisi, enggak mau monitoring. KPK itu seenaknya, main sendiri seolah-olah dia mau mengatakan 'eh, ini cuma saya yang sanggup mengerjakan itu'. Padahal undang-undang ini kalau kita baca jadi ini negara otoriter, ini negara demokrasi dan kita lagi pindah dari otoriter ke demokrasi. Dalam perpindahan ini ada kegagapan kita karena negara yang kita huni sekarang ini negara baru dengan konstitusi baru, menuntun orang dari otoriter tersebut pada demokrasi menuntun politisinya, birokrasinya, polisinya, jaksanya, hakimnya itu perlu pendampingan. Nah, KPK itu dibuat untuk mendampingi bukan untuk menghajar. Menghajar itu sudah ada kerjanya polisi sama jaksa. KPK mendampingi, makanya saya waktu itu kan menggambarkan KPK, itu seperti kayak dewa pegang senjata pamungkas.

Tapi kenapa memilih Firli? Awal dibentuknya KPK adalah untuk menutupi kekurangan kepolisian dan kejaksaan dalam penegakan hukum. Dengan memilih Firli apakah ini bukan langkah mundur?

Ketua KPK pertama Taufiqurrahman Ruki itu polisi, ketua KPK kedua Antasari Azhar adalah jaksa, lalu Antasari Azhar menjadi tersangka dan dipidana. Dipilihlah ketua transisi bernama Tumpak, dari jaksa. Setelah itu baru masuk Abraham Samad kalau enggak salah. Abraham Samad ini punya masalah sama Bambang Widjojanto dipilihlah KPK transisi ketuanya Taufiqurrahman Ruki. Setelah Taufiqurrahman Ruki muncul Agus Raharjo itu birokrat. Jadi sebenarnya ini enggak ada masalah, justru prejudice bahwa brand polisi ini brengsek semua, kotor semua, itu yang bermasalah.

Kita harus mulai percaya pada kualitas manusia dan sistem yang kita bangun. Apalagi melihat bangsa ini, bangsa baik, orang-orang baik. Negara ini didirikan oleh orang-orang baik, bukan bajak laut. Negara yang dibikin sama bajak laut aja bisa bagus, masa negara yang didirikan oleh cendekiawan dan ulama enggak bisa bagus? Jadi saya kira percaya orangnya, bikin sistemnya, nanti keadaan akan membaik. Tetapi kalau terus menerus kita curiga wah itu enggak beres, ini harus dari masyarakat sipil seolah-olah orang LSM itu malaikat semua ya enggak begitu, lah. Manusia sama.

Bagaimana masyarakat mau percaya kalau KPK sendiri menilai Firli terlibat pelanggaran etik berat?

Dulu KPK mentersangkakan Budi Gunawan setelah mendapat surat dari presiden untuk dibawa ke DPR bahwa dia calon Kapolri. Cara mentersangkakannya itu aneh. Saya kan tahu rahasianya karena saya terlibat dan mengetahui bagaimana mereka itu mentersangkakan orang, termasuk meminta tolong juga sama saya supaya kegiatan mempersangkakan orang secara sembrono itu saya dukung. Saya enggak mendukung dan terbukti apa saudara Budi Gunawan aklamasi dipilih oleh paripurna sebagai calon Kapolri. Masih ditersangkakan dia maju ke yudikatif, praperadilan akhirnya menang.

Pertanyaannya apa yang terjadi pada Budi Gunawan, ya? kok dia bisa jadi tersangka? Enggak ada barang buktinya itu. Sembrono.

KPK itu sembrono dan itu dilakukan kepada banyak orang termasuk Hadi Utomo, Ketua BPK karena mengeluarkan audit pada tahun 2012 tentang KPK, mengungkap persoalan di dalam KPK. Dia jadi tersangka dan praperadilan bebas. Maka orang ini diberikan bintang mahaputra oleh presiden.

Firli diseleksi dari ratusan orang, diseleksi oleh pansel yang dibentuk oleh presiden, bekerja menggodok nama-nama ini, keluarlah Firli. Dilakukan klarifikasi tidak pernah ada yang bilang ada pelanggaran etik. Sudah selesai, dikirim ke DPR, begitu dikirim ke DPR bikin konferensi pers. Jadi KPK ini lembaga apa sih sebetulnya? Kok semua diurus? moral orang diurus. Jegal orang kerjaannya.

Saya mengerti sekarang kenapa Pak Jokowi ini ngotot dengan perubahan ini karena Pak Jokowi itu mungkin kecewa dengan KPK. Coba lihat waktu pembentukan kabinet pertama, Pak Jokowi menyerahkan mandat untuk menyeleksi menteri kepada KPK dan KPK kayak apa? merah tidak boleh dilantik karena akan tersangka dalam satu bulan, kuning tidak boleh dilantik karena tersangka dalam enam bulan, hijau ini baru boleh dilantik.

Coba bayangkan orang yang namanya merah itu bocor ke publik dengan yang kuning ini? Apa pertanggungjawabannya? Jadi KPK ini mem-black mail orang, nyebut nama orang di ruang sidang, membocorkan rahasia orang, rekaman orang, itu kayak ringan mengumbar dosa orang. Itu enggak boleh.

Negara tidak boleh grasak-grusuk, sembrono, negara ada sistem, ditegakkan dengan cara yang baik. Jadi ini adalah akumulasi kekecewaan sistem terhadap KPK karena KPK gagal membangun harmoni dalam sistem

Tapi kenapa DPR saat uji kelayakan enggak memanggil KPK dan tidak mencoba konfirmasi terkait pelanggaran kode etik ini. Kan, masih ada waktu.

Dalam undang-undang tidak ada. Itu wilayahnya pansel dan harusnya mereka selesaikan di situ. Itu lah KPK ingin punya aturan sendiri yang dia bikin sendiri

Dalam undang-undang tidak ada tetapi secara etik seharusnya kan tak masalah memanggil KPK?

Kalau semua musti melibatkan KPK nanti orang milih istri harus tanya KPK lagi, semua harus tanya KPK. Makanya saya kritik presiden, pilih menteri itu ada urusan dengan KPK? Enggak ada dalam undang-undang. Tapi presiden titip itu kepada KPK, KPK salah, dia berlebihan dalam menggunakan kewenangan, padahal presiden punya hak prerogatif. Nah, jadi KPK itu harus tahu bahwa dia juga punya batasan dalam undang-undang.

Jangan mentang-mentang KPK itu bisa menyadap semua orang, bisa dengar orang, bisa tahu siapa yang mau korupsi, mengintai tengah malam, seolah-olah semuanya sudah diketahui sehingga dosa-dosa pribadi orang pun KPK yang tahu. Kan itu kerjaannya malaikat.

Kalau pekerjaan aparatur Tuhan ini dirampas oleh KPK juga, hati-hati ya. Kita percaya negara ini berketuhanan yang maha esa. Kalau ada cara kerja yang melampaui batas pada akhirnya dia akan kena.

(wis)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER