Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Hukum dan HAM
Yasonna Laoly mengklarifikasi sejumlah pasal dalam Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (
RKUHP) yang dianggap kontroversial, di antaranya soal pemidanaan gelandangan dan pelaku aborsi. Dalam dua kasus itu Yasonna menyebut hukuman dalam RKUHP lebih ringan ketimbang yang telah diatur dalam KUHP.
Yasonna memaparkan soal ancaman hukuman untuk pelaku aborsi dalam RKUHP yang diatur Pasal 470. Dalam pasal itu disebutkan bahwa 'Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun'.Sementara itu, di Pasal 347 (1) KUHP menyatakan, 'Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun'."Ini juga ada di UU kita yang sekarang. Di KUHP yang eksisting. Ada. Ancamannya berat. 12 tahun," kata Yasonna di Kantor Kemkumham, Jakarta, Jumat (20/9).
Menurut Yasonna RKUHP disusun guna merespons kehidupan sosial yang sudah berubah. Atas dasar itulah, untuk ancaman pidana aborsi di RKUHP lebih ringan dibanding KUHP, yakni maksimal lima tahun pidana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga menyatakan bahwa pemidanaan tidak berlaku bagi pelaku aborsi korban pemerkosaan dan karena alasan medis yang mengancam jiwa."Seorang perempuan yang diperkosa, oleh karena dia tidak menginginkan janinnya dalam tahapan terminasi tertentu dapat dilakukan (aborsi). Karena alasan medik mengancam jiwa misalnya," katanya.
Yasonna menyatakan bahwa pasal mengenai aborsi ini juga telah diatur dalam UU Kesehatan. RKUHP, kata Yasonna merupakan pembukuan dari jenis-jenis hukum tertentu menjadi satu kitab atau kodifikasi dari UU yang ada. Atas dasar itu, Yasonna membantah RKUHP akan mengkriminalisasi perempuan korban pemerkosaan."Tidak, seolah-olah kita ciptakan ini seolah langit akan runtuh dan kita akan menangkapi semua orang. Ini saya perlu klarifikasi," tegasnya.
Lebih lanjut Yasonna juga menjelaskan soal pemidanaan bagi gelandangan yang diatur
dalam Pasal 431 RKUHP.Di pasal itu disebutkan 'Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I'. Pasal ini menuai kontroversi lantaran dalam Pasal 49, pidana denda kategori I yakni sebesar Rp 1 juta.Yasonna kembali mengatakan pasal penggelandangan sudah diatur dalam KUHP yang saat ini berlaku. Bahkan dalam KUHP lama menerapkan pidana kurungan. Pasal 505 Ayat (1) KUHP berbunyi, 'Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan'. "Pengemis ada di KUHP. Kita atur justru kita mudahkan, kita kurangi hukumannya," kata Yasonna.Dalam RKUHP, Yasonna mengatakan gelandangan yang ditangkap dapat didenda atau berdasarkan putusan hakim dimasukkan dalam pelatihan agar dapat bekerja. Hal ini berbeda dengan KUHP yang mengatur pidana penjara.
"Dimungkinkan dengan hukuman kerja, ditangkap gelandangannya disuruh bekerja oleh hakim. Ini kalau dalam hukum Belanda itu perampasan kemerdekaan penjara, kalau dalam KUHP sekarang gelandangan itu ditangkap dimasukkan dipidana, diambil kemerdekaannya. Kalau ini tidak, disuruh kerja pengawasan kerja sosial. Tujuannya demikian," katanya.Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah memutuskan untuk menunda pembahasan dan pengesahan RKUHP di DPR.
Jokowi menyatakan sikapnya ini setelah mencermati masukan dari kalangan yang keberatan. Jokowi lalu meminta pembahasan RKUHP dilanjutkan anggota DPR periode 2019-2024."Saya telah perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR RI, yaitu agar pengesahan RUU KUHP Ditunda. Dan, pengesahan tidak dilakukan oleh DPR periode ini," kata Jokowi dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/9).[Gambas:Video CNN] (sah/wis)