Partai politik sebenarnya telah memiliki aturan untuk mencegah kadernya di DPR terjerat korupsi.
Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR Didik Mukrianto mengatakan fraksinya langsung memberhentikan anggota yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi.
Dia berkata dua anggota fraksi Demokrat yang terjerat kasus korupsi pun telah diberhentikan setelah menjadi tersangka beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, Demokrat memiliki pakta integritas dan tidak menolerir tindak penyelewengan yang dilakukan oleh anggota dengan alasan apapun.
"Sejak dari awal kader dapat status tersangka korupsi maka sesuai pakta integritas mereka akan mengundurkan diri atau dipecat," kata Didik kepada
CNNIndonesia.com, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Didik menerangkan Demokrat juga sudah menerapkan zona integritas antikorupsi. Selain tidak menolerir perilaku korupsi anggota, menurutnya, zona itu juga memberikan pendidikan politik kepada anggota agar menghindari praktik korupsi.
"Kami menyadari bahwa bergulirnya waktu bisa saja orang tergoda atau terayu untuk berbuat tidak baik, maka kami bangun zona integritas dan pendidikan politik, termasuk kerja sama dengan KPK," ucapnya.
Namun begitu, Didik berkata, Demokrat tidak pernah menutup pintu bagi kader yang ingin kembali ke partai setelah menjalani hukuman atas tindak pidana korupsi yang dilakukan, seperti mantan Menpora Andi Mallarangeng.
"Kami sadar predikat korupsi setelah kena kasus dan menjalani hukuman, lalu ingin kembali ke partai karena ingin menggunakan haknya kembali karena hak politiknya tidak dicabut, kami sangat terbuka," ujar Didik.
Sekretaris Fraksi Partai Golkar Adies Kadir menyampaikan bahwa pihaknya juga memiliki pakta integritas yang telah ditandatangani setiap anggota.
Salah satu poin dalam pakta integritas Golkar berisi kewajiban pada anggota untuk mengundurkan diri bila terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
"Otomatis dengan fakta integritas itu mereka sudah buat surat pengunduran diri di depan," kata Adies.
Dia melanjutkan, partai akan mengambil keputusan pemecatan anggota yang melakukan korupsi setelah terdapat keputusan hukum yang bersifat tetap atau inkrah.
Namun, menurutnya, beberapa anggota biasanya sudah mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai tersangka dengan alasan ingin fokus menyelesaikan kasus yang menjeratnya.
"Biasanya, kami mengacu pada putusan inkrah di anggaran dasar/anggaran rumah tangga begitu, tapi kadang mereka ada yang mau konsentrasi untuk menghadapi kasus yang dialami jadi mereka mengundurkan diri lebih dahulu," kata Adies.
Strategi yang dilakukan partai-partai tersebut nyatanya belum mampu mencegah anggotaya melakukan korupsi.
Sekretaris Nasional Forum Indonesia Transparansi untuk Anggaran (Seknas Fitra) menyatakan bahwa faktor kebutuhan dan kesempatan menjadi penyebab tindak pidana korupsi masih marak dilakukan para anggota DPR periode 2014-2019.
Pakta Integritas bisa tidak berarti ketika politisi di Senayan masih disandera kebutuhan dan melihat ada kesempatan melakukan korupsi.
Politik Biaya TinggiAnggota Divisi Advokasi Seknas Fitra Gulfino Che Guevarrato berkata bahwa biaya politik yang tinggi menjadi salah satu penyebab faktor kebutuhan hadir.
Sejumlah penghuni Senayan membutuhkan modal biaya yang tinggi untuk menutupi kekurangan modal sosial ketika mengikuti kontestasi pemilihan umum (pemilu).
"Kalau calon (anggota legislatif petahan) sebenarnya punya modal sosial bagus, dia tidak perlu cari lagi (modal biaya) ketika mencalonkan diri lagi. Sehingga, dia tidak perlu mengeluarkan duit miliaran rupiah," kata Gulfino saat ditemui
CNNIndonesia.com di Jakarta beberapa waktu lalu.
ICW dalam Outlook Korupsi Politik 2018: Ancaman Korupsi di Balik Pemilu 2018 dan 2019, juga menyoroti politik biaya tinggi dalam pemilu.
Pos biaya tertinggi berdasarkan temuan ICW berasal dari dana kampanye. Kebutuhan untuk saksi pemungutan, penghitungan, dan pengawalan suara juga memerlukan biaya tinggi.
Biaya saksi umumnya berkisar Rp250 ribu hingga Rp500 ribu. Uang miliaran rupiah bisa dikeluarkan oleh seorang calon untuk membiayai saksi di sebuah dapil besar.
Faktor lain mendorong anggota dewan korupsi, menurut Gulfino, aturan membayar iuran atau sumbangan untuk partai.
Biaya tinggi yang dibutuhkan untuk menjalankan roda partai politik terkadang memaksa anggota untuk memberikan sumbangan uang yang besar. Akhirnya, kata dia, sejumlah politikus terpaksa mencari sumber dana lain di luar penghasilan untuk memenuhi kebutuhan partai.
"Faktor dominan karena tuntutan banyak pihak seperti partai yang mewajibkan bayaran dan sebagainya," ucap Gulfino.
Dia menyampaikan faktor selanjutnya terkait kesempatan yang lahir karena posisi anggota dewan sebagai pembuat regulasi.
Gulfino menerangkan posisi itu membuka ruang untuk anggota dewan menerima suap atau gratifikasi ketika pembahasan anggaran hingga pengadaan barang serta jasa.
"Jenis korupsi ini misalnya terkait gratifikasi, pembahasan anggaran, pengadaan proyek, atau pengadaan barang dan jasa. Artinya, ruang pembahasan anggaran yang begitu kental nuansa politisnya membuka kesempatan (korupsi) itu," ucap dia.
Pukat melihat korupsi di parlemen dalam kerangka kekuasaan dan sistem. Menurut Oce, korupsi tak pernah melulu dipicu faktor individual. Gaji besar anggota dewan, dengan demikian, tak menjamin politikus Senayan terbebas dari korupsi.
Oce berkata korupsi selalu terkait kekuasaan. Adapun korupsi dengan modus jual beli kekuasaan di Senayan, mencerminkan kelemahan dalam sistem yang dibangun di DPR.
Faktor sistem dan kekuasaan sebagai pemicu korupsi hanya bisa diselesaikan dengan memastikan transparansi dalam penggunaan kewenangan anggota dewan. Menurut Oce harus ada aturan yang melarang pembahasan tertutup bagi setiap tugas anggota DPR.
"Tak boleh ada
deal setengah kamar, di luar sidang, atau lobi-lobi di luar sidang resmi karena itu yang membuka peluang terjadi potensi korupsi," ujarnya.
Menurut Oce, transparansi anggota dewan saat ini masih sangat rendah. Terutama dalam tugasnya menjalankan fungsi penganggaran. Masyarakat disebut Oce tak mengetahui kerja dewan dan apa yang dilakukan dalam sidang-sidang anggaran.
Dia mengusulkan DPR secepatnya menerapkan e-budgeting. Dia berkata e-budgeting jadi sistem penganggaran yang akuntabel karena tak banyak terkena campur tangan para politikus beserta segala kepentingannya.
Upaya membangun sistem yang transparan tak akan berguna tanpa penegakan hukum dan pengawasan dari KPK. Oce pun menyayangkan sikap DPR yang mengesahkan Revisi Undang Undang KPK menjadi undang-undang.
Salah satu yang paling disoroti adalah kewenangan penyadapan dalam UU KPK baru yang harus diberitahukan kepada dewan pengawas. Padahal, penyadapan sangat berperan besar dalam membongkar kasus-kasus korupsi anggota DPR.
"Karena penyadapan dipersulit, ke depan tentu akan sulit melakukan OTT terhadap anggota DPR. Karena cara mengetahui korupsi paling efektif adalah lewat penyadapan," ujar Oce.
(wis)