Jakarta, CNN Indonesia -- Tim analisis Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) menyatakan setidaknya terdapat 26 persoalan dalam Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Kedua UU KPK berisiko memperlemah kerja KPK.
Pertama, kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah adalah pelemahan independensi KPK dengan diletakkannya KPK sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif dan pegawai KPK merupakan ASN.
"Rumusan UU hanya mengambil sebagian dari putusan MK, namun tidak terbaca posisi KPK sebagai badan lain yang terkait kekuasaan kehakiman dan lembaga yang bersifat constitutional important," kata Febri melalui pesan tertulis, Rabu (25/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, bagian yang mengatur bahwa Pimpinan adalah penanggungjawab tertinggi dihapus.
Dewan pengawas yang lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK termaktub dalam poin ketiga. Sementara, terang Febri, syarat menjadi Pimpinan KPK lebih berat dibanding dewan pengawas. Seperti berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan.
Keempat, kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan menjadi sulit.
"Bagaimana jika dewan pengawas tidak mengizinkan? Siapa yang mengawasi Dewan Pengawas?," ujarnya.
Selain itu, standar larangan etik dan anti konflik kepentingan untuk dewan pengawas lebih rendah dibandingkan pimpinan dan pegawai KPK. Itu termuat dalam poin kelima.
Terdapat aturan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan seperti dewan pengawas tidak dilarang bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK.
Masih seputar dewan pengawas, poin keenam adalah untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.
Persoalan ke-7 adalah Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas Penindakan.
Berikutnya, Febri menyoroti keterpilihan Nurul Ghufron yang terganjal usia lantaran UU KPK baru mensyaratkan batas usia minimal 50 tahun. Sementara Ghufron baru menginjak 45 tahun.
"Salah satu Pimpinan KPK pasca UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur (kurang dari 50 tahun)," ucapnya.
KPK, kata Febri, juga menyoroti ketidakcermatan pengaturan untuk usia Pimpinan KPK minimal 50 tahun, padahal keterangan dalam kurung tertulis "empat puluh" tahun. Itu termuat dalam Pasal 29 huruf e UU KPK baru.
"Jika dipaksakan pengangkatan dilakukan, terdapat risiko keputusan dan kebijakan yang diambil tidak sah," kata dia.
Persoalan ke-9 ialah pemangkasan kewenangan Penyelidikan. Kata Febri, penyelidik tidak lagi dapat mengajukan pelarangan terhadap seseorang ke Luar Negeri. Hal itu, menurut dia, berisiko untuk kejahatan korupsi lintas negara dan akan membuat para pelaku lebih mudah kabur ke luar negeri saat penyelidikan berjalan.
Berikutnya ialah soal pemangkasan penyadapan. Setidaknya ada enam tahapan penyadapan dimulai dari Penyelidik, Kasatgas, Direktur Penyelidikan, Deputi Bidang Penindakan, Pimpinan, Dewan Pengawas, hingga melakukan gelar perkara terlebih dulu.
"Penyadapan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi," simpul Febri.
Ke-11, operasi tangkap tangan menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK baru.
Poin ke-12, terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi. Seperti Pasal 6 huruf a yang berbunyi KPK bertugas melakukan tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi
"Hal ini sering kita dengar diungkapkan oleh sejumlah politisi agar ketika KPK mengetahui ada pihak-pihak yang akan menerima uang, maka sebaiknya KPK 'mencegah' dan memberitahukan pejabat tersebut agar tidak menerima suap," tandasnya.
Tiga belas, terdapat risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas. Seperti ketentuan pemusnahan penyadapan yang tidak terkait perkara.
Namun, menurut Febri, tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait, ruang lingkup perkara dan siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut.
"Ada ancaman pidana terhadap pihak yang melakukan Penyadapan atau menyimpan hasil penyadapan tersebut. Ancaman pidana diatur namun tidak jelas rumusan pasal pidananya," sambungnya.
Persoalan berikutnya ialah risiko posisi penyidik PNS berada dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri. Sementara di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi.
Poin ke-15 dan 16 ialah terkait kewenangan penuntutan di mana dalam pelaksanaan penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait. Tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
Poin ke-17, pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN.
"Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat risiko dalam waktu dua tahun bagi Penyelidik dan Penyidik KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN," tambahnya.
Poin berikutnya ialah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Batas waktu dua tahun, menurut Febri, menyulitkan dalam penanganan perkara.
"Dapat membuat KPK sulit menangani kasus-kasus korupsi besar seperti e-KTP, BLBI, Kasus Mafia Migas, korupsi pertambangan dan perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian keuangan negara yang besar," jelasnya.
Poin ke-20, diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara. Seperti perlunya izin untuk memeriksa pejabat tertentu.
Pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan sifat kekhususan (lex specialis) UU KPK, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan kewenangan yang luar biasa.
Poin ke-21 mengenai pertenangan sebuah norma. Pasal 69D yang mengatakan sebelum dewan pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah. Sementara, di Pasal II diatur UU ini berlaku pada tanggal diundangkan.
Poin ke-22 perihal nasib Penasihat KPK. Apakah Penasihat menjadi Dewan Pengawas atau Penasihat langsung berhenti saat UU ini diundangkan. Tidak ada kejelasan.
Poin krusial lainnya ialah hilangnya kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik.
Poin ke-24, KPK hanya berkedudukan di Ibukota negara. Febri menambahkan KPK tidak lagi memiliki harapan untuk diperkuat dan memiliki perwakilan daerah.
"Dengan sumber daya yang tersedia saat ini dan wilayah kerja seluruh Indonesia KPK dipastikan akan tetap kewalahan menangani kasus korupsi di seantero negeri," aku dia.
Selanjutnya tidak ada penguatan dari aspek pencegahan. Kendala pencegahan selama ini ketika rekomendasi KPK tidak ditindaklanjuti juga tidak terjawab dengan revisi.
"Keluhan selama ini tidak adanya sanksi tegas terhadap Penyelenggara Negara yang tidak melaporkan LHKPN tetap tidak diatur," imbuhnya.
Poin terakhir ialah kewenangan KPK melakukan Supervisi dikurangi yaitu pasal yang mengatur kewenangan KPK untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang terhadap instansi yang melakukan pelayanan publik tidak ada lagi.
"Padahal, korupsi yang terjadi di instansi yang melakukan pelayanan publik akan dirasakan langsung oleh masyarakat, termasuk korupsi di sektor perizinan," pungkas Febri.
KPK, ucap Febri, memandang 26 poin itu riskan melumpuhkan kinerja.
"Jadi, jika ada pihak-pihak yang mengatakan revisi UU KPK saat ini memperkuat KPK, baik dari aspek Penindakan ataupun Pencegahan, dilihat dari 26 poin di atas hal tersebut tidak dapat diyakini kebenarannya," tegasnya.
[Gambas:Video CNN] (ryn/agr)