Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Fahri Hamzah meminta pihak-pihak yang tak setuju disahkannya revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (
UU KPK) jadi undang-undang memperlihatkan kajian hingga naskah akademis yang menjadi latar penolakan mereka.
"Ya jantanlah, tunjukan kajiannya," kata Fahri di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (26/9).
Menurut Fahri, para pihak yang secara terang-terangan menolak revisi UU KPK jadi undang-undang itu tentu memiliki kajian dan naskah akademik yang menjadi latar penolakannya. Kajian tersebut, kata Fahri, harusnya dipaparkan saja secara terbuka ke hadapan publik. Itulah sambungnya yang harus ditampilkan sebagai bekal perjuangan menolak revisi UU KPK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Teman-teman tuh harus terus terang yang menuntut ini siapa, kajiannya apa, naskah akademiknya apa, kan naskah itu bisa dipakai untuk berjuang kan. Naskahnya itu dipaparkan aja ke publik," kata pria yang juga dikenal sebagai salah satu aktivis 1998 tersebut.
Revisi UU KPK telah resmi diundangkam DPR dalam sidang Paripurna yang digelar pada 17 September 2019 lalu. Padahal gelombang penolakan RUU itu disahkan telah ramai terjadi jauh hari sebelumnya karena dianggap bakal melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Imbasnya, baru satu hari disahkan, Undang-undang ini pun langsung digugat sejumlah masyarakat ke Mahkamah Konstitusi.
Sebanyak 18 mahasiswa dari sejumlah universitas menggugat Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK yang baru disahkan DPR ke Mahkamah Konstitusi, Rabu (18/9).
Kuasa pemohon, Zico Leonard mengatakan, terdapat dua gugatan yang diajukan yakni gugatan formil dan materiil. Pada gugatan formil, para penggugat mempersoalkan proses pembentukan UU yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat.
Padahal sesuai prinsip dasar pembentukan peraturan perundang-undangan mengatur keterbukaan.
Sementara itu, Tim analisis KPK menyatakan setidaknya terdapat 26 persoalan dalam revisi UU KPK yang telah disahkan jadi UU itu berisiko memperlemah kerja lembaga antirasuah tersebut.
Pertama, kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah adalah pelemahan independensi KPK dengan diletakkannya KPK sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif dan pegawai KPK merupakan ASN.
"Rumusan UU hanya mengambil sebagian dari putusan MK, namun tidak terbaca posisi KPK sebagai badan lain yang terkait kekuasaan kehakiman dan lembaga yang bersifat constitutional important," kata Febri melalui pesan tertulis, Rabu (25/9).
Dan, salah satu hal yang menjadi polemik adalah perihal keberadaan Dewan Pengawas sebagai entitas baru yang dihasilkan lewat revisi UU KPK.
[Gambas:Video CNN] (tst/kid)