Angkie Yudistia, Penulis Tunarungu yang jadi Stafsus Jokowi

CNN Indonesia
Kamis, 21 Nov 2019 18:41 WIB
Angkie Yudistia jadi salah satu staf khusus Jokowi dari kalangan difabel.
Tujuh staf khusus Jokowi. (Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)
Jakarta, CNN Indonesia -- Angkie Yudistia tampak sudah terbiasa tampil di depan publik. Kendati memiliki keterbatasan dalam berbicara, ia luwes saja menjelaskan soal kegiatannya diiringi gerakan isyarat.

Ia kini menjadi salah satu staf khusus Presiden Joko Widodo. Dari tujuh sosok kalangan milenial yang diangkat, perempuan usia 32 ini merupakan satu-satunya penyandang disabilitas.

Menjadi difabel tak menghambat ruang gerak dan kreativitas Angkie. Terbukti sejak usia pertengahan 20 tahun, ia mulai merintis kepiawaian menulisnya melalui beberapa buku.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Tapi ini tak mudah. Di tengah perjalanan, perempuan kelahiran Medan 5 Juni 1987 ini tak luput dari perundungan juga diskriminasi.

Angkie kecil mulanya masih bisa mendengar. Tapi saat usia 10 tahun, ia berangsur kehilangan pendengaran. Angkie mengaku sempat terguncang saat itu, tapi lantas bangkit dan memutuskan untuk menempuh pendidikan di sekolah umum.


Sekalipun pernah merasa bahwa masa remaja dia kurang menyenangkan juga tak percaya diri, tapi dukungan sang ibu menguatkan.

Jokowi mengenalkan Angkie dalam pengumuman soal staf khusus pada Kamis sore (21/11). "Angkie Yudistia, umur 32 tahun," katanya.

Angkie pun tampak sudah terbiasa tampil di depan publik. Kendati memiliki keterbatasan dalam berbicara, ia luwes saja menjelaskan soal kegiatannya diiringi gerakan isyarat.

Ia kini menjadi salah satu staf khusus Presiden Joko Widodo. Dari tujuh sosok kalangan milenial yang diangkat, perempuan usia 32 ini merupakan satu-satunya penyandang disabilitas.

Menjadi difabel tak menghambat ruang gerak dan kreativitas Angkie. Terbukti sejak usia pertengahan 20 tahun, ia mulai merintis kepiawaian menulisnya melalui beberapa buku.

Tapi ini tak mudah. Di tengah perjalanan, perempuan kelahiran Medan 5 Juni 1987 ini tak luput dari perundungan juga diskriminasi.


Angkie kecil mulanya masih bisa mendengar. Tapi saat usia 10 tahun, ia berangsur kehilangan pendengaran. Angkie mengaku sempat terguncang saat itu, tapi lantas bangkit dan memutuskan untuk menempuh pendidikan di sekolah umum.

Perang Sang Ibu

Sekalipun pernah merasa bahwa masa remaja dia kurang menyenangkan juga tak percaya diri, tapi dukungan sang ibu menguatkan. Angkie menjadi kian hari lebih berani dan mencoba pelbagai hal.

Salah satunya, menulis buku. Beberapa bukunya berisi cerita inspiratif di antaranya 'Perempuan Tunarungu Menembus Batas' dan 'Setinggi Langit'. Melalui karyanya tersebut ia menyuarakan hak-hak kelompok disabilitas.

Lulusan London School of Public Relations ini juga terlibat aktif di pelbagai kegiatan sosial dan Yayasan Tunarungu Sehjira sejak 2009. Angkie menyadari, kelompok disabilitas harus mendapatkan kesamaan hak dengan warga lain. Dan ini didapat harus dengan diperjuangkan.

[Gambas:Video CNN]

Itu sebab pula ia lantas mendirikan sebuah perusahaan bertajuk Thisable Enterprise. Melalui lembaga tersebut Angkie membikin wadah untuk memberdayakan penyandang disabilitas di bidang ekonomi kreatif. (ika/asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER