Jakarta, CNN Indonesia -- Tahun 2019 menjadi masa suram bagi Pemberantasan Korupsi (
KPK). Banyak pihak menganggap terjadi pelemahan terhadap lembaga antikorupsi tersebut, khususnya dalam kurun tiga bulan terakhir. Salah satunya lewat pengesahan revisi
Undang-Undang KPK oleh DPR pada 17 September.
Publik tentu masih ingat bagaimana revisi UU KPK yang saat itu menimbulkan kontroversi akhirnya disahkan oleh DPR pada September lalu.
Dalam revisi UU itu, sejumlah pasal dianggap melemahkan KPK. Mulai dari pemangkasan kewenangan penyelidikan hingga keberadaan dewan pengawas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum lagi seleksi calon pimpinan KPK 2019-2023 yang dinilai penuh masalah. Salah satu calon saat itu, Firli Bahuri diduga pernah melakukan pelanggaran etik saat masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK. Saat proses seleksi, berbagai pihak menolak Filri diloloskan.
Meski demikian Firli akhirnya mulus dalam tahapan seleksi. Dia tetap terpilih dan kemudian dilantik sebagai ketua KPK bersama empat pimpinan lainnya yakni Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, dan Nawawi Pomolango pada 20 Desember 2019.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, 2019 tak hanya masa suram tetapi juga menjadi tahun kekalahan bagi KPK. Kekalahan ini tak lepas dari sikap para aktor politik yang dinilai sewenang-wenang.
"Bukan hanya partai politik dan anggota DPR, tetapi aktor politik secara umum termasuk di institusi negara lain yang terganggu dengan upaya pemberantasan korupsi," ujar Bivitri saat dihubungi
CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
[Gambas:Video CNN]Kekalahan ini, menurut Bivitri, bukan hanya terjadi karena KPK yang 'diserang' dari berbagai sisi. Melainkan juga lembaga negara lain yang dinilai makin bersikap permisif pada korupsi.
Ia menyebut salah satunya Mahkamah Agung (MA) yang seolah mengobral keringanan hukuman pada narapidana kasus korupsi. Beberapa di antaranya, yakni mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang terjerat kasus korupsi PLTU Riau-1. Hukuman yang semula lima tahun 'disunat' menjadi dua tahun penjara.
Sebelumnya MA juga menyunat masa hukuman mantan Ketua DPD Irman Gusman dari 4,5 tahun menjadi tiga tahun penjara terkait perkara suap impor gula dari Perum Bulog.
Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar tak ketinggalan dapat diskon hukuman terkait suap perkara, dari delapan tahun penjara menjadi tujuh tahun penjara.
Ironisnya, kata Bivitri, sikap permisif pada koruptor secara tak sadar juga dilakukan Presiden Joko Widodo. Sikap ini ditunjukkan mantan Wali Kota Solo itu lewat dukungan terhadap revisi UU KPK.
Jokowi juga enggan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK di tengah penolakan masif UU KPK di masyarakat. Hal ini diperparah dengan pemberian grasi pada mantan Gubernur Riau Anas Maamun, terpidana korupsi alih fungsi lahan di Provinsi Riau.
"Jokowi setuju KPK diberangus dan justru memberi grasi pada koruptor seperti Anas. Jokowi dan menteri-menterinya juga kerap menarasikan bahwa pemberantasan korupsi jangan sampai menghalangi investasi. Itu keliru," kata Bivitri.
Jika ditelusuri ke belakang, pembahasan revisi UU KPK memang menjadi salah satu yang paling menarik perhatian publik selama 2019. Pembahasan revisi UU ini juga sempat memancing penolakan besar-besaran dari aliansi mahasiswa di sejumlah daerah. Di Jakarta sendiri, aksi unjuk rasa digelar berhari-hari di depan gedung DPR, Jakarta, hingga memakan korban tewas.
Tercatat ada lima mahasiswa tewas akibat aksi unjuk rasa tersebut. Dua di antaranya merupakan mahasiswa Universitas Halu Oleo Imawan Randi dan Yusuf Kardawi yang tewas tertembak saat demo di depan gedung DPRD Kendari, Sulawesi Tenggara. Belakangan, kedua nama mahasiswa itu diabadikan sebagai nama gedung di KPK.
Aksi penolakan para mahasiswa itu bukan tanpa alasan. Mereka menolak lantaran terdapat berbagai pasal dalam revisi UU KPK yang dianggap melemahkan kinerja lembaga anti rasuah itu.
Dari catatan KPK, ada 26 poin yang bakal melemahkan kinerja KPK. Salah satunya adalah pelemahan independensi dengan meletakkan KPK sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif. Nantinya pegawai KPK akan alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dianggap berisiko terhadap proses mutasi pegawai saat menjalankan tugas.
Kemudian terkait keberadaan dewas pengawas (dewas) yang dinilai melampaui kewenangan pimpinan KPK. Pasalnya, dalam UU KPK yang baru dijelaskan tugas dewas yakni memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, pengggeledahan, dan penyitaan.
Hal itu diyakini akan menghambat kinerja penyidik karena harus meminta izin dulu sebelum melakukan penindakan. Prosesnya pun berlapis yakni dari penyelidik ke Kepala Satuan Tugas, kemudian ke direktur penyelidikan, lanjut ke deputi penindakan, pimpinan, hingga ke dewas.
Anggota dewas sendiri telah dilantik Jokowi bersamaan dengan lima pimpinan KPK baru. Lima orang itu yakni pimpinan KPK jilid I Tumpak Hatorangan Panggabean sebagai ketua dan empat orang lainnya sebagai anggota yakni mantan hakim MK Harjono, mantan hakim agung Artidjo Alkostar, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang Albertina Ho, dan peneliti senior LIPI Syamsuddin Haris.
Meski rekam jejak dewas terbilang baik, keberadaan mereka tetap dikritik berbagai pihak. Tumpak sendiri tak menampik banyak masyarakat yang pesimis dengan keberadaan dewas. Namun menurutnya pesimisme itu justru memotivasi dewas KPK.
Selain soal dewas, aturan yang dianggap menghambat penindakan di KPK adalah kewenangan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Dalam Pasal 6 huruf a UU KPK yang baru menjelaskan tugas KPK untuk melakukan tindakan pencegahan agar tidak terjadi tindak pidana korupsi. Beleid itu risiko disalahartikan seolah KPK tak boleh lagi melakukan OTT.
Kemudian soal penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) bagi perkara yang sudah berjalan dua tahun. Aturan ini dianggap menyulitkan KPK untuk menangani kasus korupsi besar seperti proyek e-KTP, BLBI, Pelindo, dan sejumlah kasus lain. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengusut kasus tersebut.
Persoalan yang tak kalah menyedot perhatian publik selama 2019 adalah seleksi capim KPK yang diikuti Firli. Rekam jejak jenderal bintang tiga yang pernah melanggar etik itu membuat publik meragukan integritasnya.
Firli diduga bertemu dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) saat bermain tenis. Padahal di saat yang bersamaan, KPK tengan menyidik dugaan korupsi Newmont yang menyeret nama TGB.
Namun dugaan pelanggaran itu rupanya tak menghalangi langkah mantan Kapolda Sumatera Selatan itu sebagai pimpinan KPK. Firli didapuk sebagai ketua dan dilantik bersama empat pimpinan KPK lainnya oleh Jokowi.
Firli sendiri telah mengklarifikasi soal pertemuan tersebut. Menurutnya, pertemuan dengan TGB tak disengaja saat dirinya sedang bermain tenis. Keduanya lantas foto bersama dan kemudian diunggah di media sosial.
Firli berkukuh tak ada yang salah dalam pertemuan itu. Terlebih TGB juga bukan tersangka dalam perkara di KPK.
Bivitri menilai perlu perombakan besar-besaran terkait sejumlah aturan dalam UU KPK hasil revisi. Meski menurutnya kecil kemungkinan perubahan itu terjadi mengingat konstelasi politik yang terjadi saat ini.
"Lebih berdayakan kekuatan masyarakat sipil untuk terus mensuarakan bahwa apa yang terjadi belakangan ini adalah kesalahan, tidak patut diterima begitu saja," ucapnya.
Ia khawatir jika aturan baru tersebut akan menimbulkan perspektif sebagai norma baru tentang pemberantasan korupsi yang dimaklumi. Sementara upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sendiri masih sangat buruk.
"Korupsi di Indonesia masih sangat parah dan hanya bisa diberantas kalau lembaga punya visi untuk ini. Salah satunya dengan lembaga independen seperti KPK," tuturnya.