Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur DKI Jakarta
Anies Baswedan mendapat sindiran halus dari Uskup Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) Kardinal Ignatius Suharyo saat berkunjung ke Katedral, Jakarta Pusat, pada malam Misa
Natal, Selasa (24/12) kemarin.
Anies disebut-sebut 'nyelonong' ke tengah-tengah jemaah saat ibadah Misa Natal berlangsung khidmat.
"Pak Gubernur datang saat ibadah berjalan. Tuhan menyelenggarakan, saya tidak mengatakan kebetulan. Tuhan menyelenggarakan beliau harusnya datang 21.30 WIB ketika ibadah kedua akan mulai. Tapi beliau datang jam 20.15 WIB," kata Suharyo di Katedral, Jakarta Pusat, Rabu (25/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walaupun mengaku bisa memaklumi dan tak terganggu, Suharyo pun membandingkannya dengan kedatangan tokoh muslim lain yang menunggu ibadah misa selesai sebelum masuk bersilaturahmi.
Sikap Anies ini pun mendapat sorotan di media sosial. Tak sedikit yang menyebut Anies tak menghargai prosesi peribadatan umat Nasrani. Bahkan, banyak pula yang menyebut bahwa Anies hanya ingin pencitraan tanpa tahu tatakrama peribadatan agama lain.
Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi pun meminta agar Anies bisa lebih bijak dalam bersikap. Mujtaba memafhumi kehadiran Anies di katedral terkait dengan posisinya sebagai orang nomor satu di Jakarta.
Pun demikian dengan lumrah dilakukan pejabat-pejabat di wilayah lain. Namun, menurut Mujtaba apa yang telah terjadi di Katedral seharusnya bisa disikapi bijak lebih awal.
"Pak Anies juga bisa mengirim utusan terlebih dahulu untuk mengecek kondisi, sebelum berkunjung. Sehingga waktu kunjungan lebih tepat dan tetap menghormati prosesi ibadah," kata Mujtaba.
Lebih lanjut, Mujtaba berharap Anies bisa menjaga sikap toleransi antarumat beragama--khususnya di wilayah DKI Jakarta--dengan bersungguh-sungguh. Salah satunya dengan menghargai prosesi peribadatan yang dilakukan umat agama lain.
"Melindungi, menghargai dan menghormati peribadatan setiap umat beragama secara baik," kata dia.
Selain itu, pesan Mujtaba, kepada para pejabat negara maupun aparat pemerintahan adalah tidak menjadikan pesan toleransi saat hari ibadah sebagai sebuah kewajiban seremonial semata.
 Sejumlah komunitas Islam hadir dalam perayaan natal 2019 di Katedral, Jakarta Pusat hari ini Rabu (25/12). (CNN Indonesia/Rayhand Purnama Karim JP) |
Dia meminta pernyataan toleransi itu disampaikan pula lewat sikap serta kebijakan konsisten untuk melindungi perbedaan yang ada di tengah masyarakat, termasuk dalam berkeyakinan.
"Pendirian rumah ibadah tidak dipersulit. Pelaku kekerasan atas nama agama ditindak. Dan seterusnya. Kalau tidak konsisten dengan kebijakan yang dibuat, ya itu berarti toleransi hiasan saja. Lipstik," kata dia.
"Pernyataan perlu diterapkan secara konsisten dalam perbuatan," kata dia.
Salah satu yang telanjang di depan mata adalah kedelapan kalinya misa natal jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi digelar di seberang Istana Kepresidenan, Jakarta. Itu dilakukan sebagai bentuk protes perihal kesulitan membangun rumah ibadah yang menahun.
Juga peristiwa pelarangan ibadah umat Nasrani di Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat yang sudah menahun. Tahun ini mereka bisa melaksanakan ibadah Natal di wilayah kediaman mereka setelah menarik perhatian nasional, dan memaksa pemerintah pusat 'menyentil' pemda setempat.
Senada Mujtaba, Direktur Eksekutif Setara Institute Ismali Hasani berharap fenomena 'berlomba-lomba toleransi' itu dibarengi ketegasan pemerintah lewat kebijakan kepastian perlindungan.
"Mesti kita dorong agar ada perubahan yang lebih substantif. Misalnya mengokohkan jaminan kebebasan beragama dan menghindari favoritisme terhadap kelompok tertentu. Termasuk menghentikan praktik politik identitas dalam menjaga akseptasi warga atas kepemimpinannya," kata pria yang juga pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.
[Gambas:Video CNN]Sebelumnya, dalam jumpa pers di Katedral pada 25 Desember lalu, Ignatius Suharyo selaku Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menilai penghormatan terhadap hak beragama menurut keyakinan masing-masing di negeri ini masih sebatas cita-cita.
Suharyo menyampaikan seharusnya masyarakat Indonesia menjunjung tinggi semangat Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebab di dalamnya ada unsur yang mewajibkan masyarakat menghormati hak beragama orang lain.
Meski isu larangan menguat, ia tidak berkecil hati. Sebab hal itu hanya ada satu atau dua kasus dan tidak mencerminkan sikap seluruh masyarakat di Indonesia.
"Jangan karena 1-2 kasus yang kalau mungkin kalau dihitung-hitung hanya 0,000 sekian persen. Sehingga saya sendiri cenderung untuk melihatnya dari segi positif," ujar Suharyo seraya berpesan kepada setiap pemerintah daerah bertanggung jawab jika masalah intoleransi muncul di wilayah mereka.
(tst/asa)