Jakarta, CNN Indonesia -- Sekitar 200 orang
mahasiswa dari Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI) berunjuk rasa menentang rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (4/3) sore. Sembilan orang kemudian sempat diamankan polisi.
Pantauan
CNNIndonesia.com, aparat terlihat kemudian menangkap sembilan orang dalam aksi itu. Kejadian bermula saat massa aksi melakukan istirahat untuk memberi kesempatan peserta muslim salat ashar.
Pada pukul 15.45 WIB, polisi mengamankan seorang perempuan petugas medis lapangan. Perempuan itu dibawa masuk lewat pintu pejalan kaki kompleks parlemen. Namun, dua orang petugas medis lainnya menolak sang perempuan diperiksa sendirian. Setelah beradu mulut sekitar 5 menit, ketiganya dibawa masuk ke pos penjagaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa aparat kepolisian menggeledah isi tas mereka satu per satu. Namun tak ditemukan benda mencurigakan, hanya beberapa obat dan peralatan kesehatan.
Sekitar pukul 16.05 WIB, intel kepolisian membawa enam orang yang semuanya laki-laki. Satu di antara mereka menggunakan baju dan topeng seperti dalam serial Netflix Money Heist. Beberapa di antaranya menggunakan seragam putih abu-abu.
Berbeda dengan tiga orang petugas medis, enam orang itu dibawa polisi ke dalam gedung. Namun
CNNIndonesia.com tak berhasil menemukan lokasi pemeriksaan enam orang tersebut.
Mahasiswa kemudian sempat mengancam akan tinggal di lokasi aksi jika rekan-rekan mereka tak dilepaskan. Beberapa perwakilan masuk Gedung DPR/MPR RI untuk menjemput orang-orang yang ditangkap.
Sekitar pukul 17.30 WIB, kepolisian melepaskan mereka. Kapolres Jakarta Pusat Kombes Heru Novianto mengatakan polisi menangkap mereka karena mereka tidak memakai jaket almamater kampus.
[Gambas:Video CNN]"Karena kita sudah yakinkan kalau mereka tidak akan rusuh dan sebagainya, dan dia berjanji tidak akan melakukan onar di sini, kita kembalikan lagi ke teman-temannya," tutur Heru kepada wartawan.
Terburu-buruDalam aksi demo itu, para mahasiswa menentang pengesahan RUU Omnibus Law karena banyak merugikan kaum buruh dan rakyat banyak. Terlebih, pemerintah tak banyak melibatkan masyarakat dan tak transparan dalam penyusunannya.
"Apa yang disampaikan pemerintah dalam merumuskan Omnibus Law terkesan terburu-buru. Sehingga akhirnya partisipasi masyarakat sendiri yang menjadi poin penting tidak ada," kata Koordinator Pusat BEM-SI Remy Hastian di lokasi unjuk rasa.
Para mahasiswa menyoroti sejumlah aturan dalam RUU tersebut. Misalnya, penghapusan upah minimum kota, penghapusan pesangon, dan penghapusan batas kontrak tenaga kerja yang merugikan kaum buruh.
Selain itu, mahasiswa juga menaruh perhatian pada dampak lingkungan akibat RUU itu. Mereka menolak penyederhanaan izin investasi yang memangkas kewajiban perusahaan dalam izin lingkungan.
"Yang jadi penolakan bagi kita adalah Omnibus Law ini bisa dibilang adalah cacat formil, kita tekankan bahwa perundang-undangan yang ada," ucapnya.
RUU Omnibus Law Cipta Kerja sendiri telah diserahkan oleh Pemerintah ke DPR pada Rabu (12/2). RUU itu termasuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020.
Aturan itu merupakan usulan Presiden Joko Widodo di periode kedua pemerintahannya. Dia mengklaim RUU itu dapat memangkas regulasi dan mempermudah investasi
(dhf/arh)