Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (
KLHK) mengklaim angka deforestasi atau
penebangan hutan pada 2018-2019 berkurang dari periode sebelumnya. Namun, data itu dikritisi karena tak berarti kerusakan lingkungan juga berkurang.
Data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK menyebut deforestasi pada 2018-2019 mencapai 465,5 ribu hektare. Angka ini masih merupakan deforestasi
brutto.
Jumlah deforestasi
netto-nya pada periode yang sama mencapai 462,4 ribu ha. Angka itu didapat dari penggundulan hutan dikurangi jumlah penghutanan kembali (reforestasi) di periode yang sama yang mencapai 3.100 hektare.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai perbandingan, angka deforestasi (brutto) pada 2017-2018 mencapai 493,3 ribu ha. Sementara, reforestasinya mencapai 53,9 ribu ha. Sehingga angka deforestasi
netto-nya mencapai 439,4 ribu ha.
Walhasil, Direktur Jenderal PKTL Sigit Hardwinarto menyimpulkan bahwa ada pengurangan luas penggundulan hutan (secara brutto) sebesar 5,6 persen pada periode 2018-2019 dari periode sebelumnya.
"Hal ini menunjukkan, berbagai upaya yang dilakukan Kementerian LHK akhir-akhir ini menuai hasil yang signifikan," klaim Direktur Jenderal PKTL Sigit Hardwinarto.
Upaya-upaya yang dimaksudnya di antaranya ialah penerapan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Pengendalian Kerusakan Gambut;
Pengendalian Perubahan Iklim, Pembatasan perubahan Alokasi Kawasan Hutan untuk sektor non kehutanan (HPK), Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH/TORA), Pengelolaan Hutan lestari, Perhutanan Sosial, hingga Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
 Foto: CNNIndonesia/Basith Subastian |
Dihubungi secara terpisah, Juru Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Wahyu Perdana berpendapat keberhasilan upaya menekan kerusakan hutan itu tidak bisa dilihat dari luasan hutan secara administratif.
Pemerintah, katanya, juga harus membuktikan bahwa alih fungsi lahan hutan, untuk perkebunan misalnya, tidak menyumbang kerusakan lingkungan.
"Penting juga [dilihat] apakah kemudian luas penambahan kawasan [deforestasi] itu berbanding lurus dengan tingkat dan dampak kerusakan hutan," ujarnya kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (24/4).
Menurut temuan pihaknya dan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), kerusakan lingkungan didominasi oleh sektor perubahan tata guna lahan. Di sektor ini ada tiga industri yang berperan besar, yakni perkebunan, kehutanan dan tambang.
"Ini penting karena sampai akhir 2019 kalau pada luasan daratan, 61,4 persen itu sudah menjadi kawasan konsesi, baik swasta maupun BUMN," jelasnya.
Sayangnya, kata Wahyu, pemerintah belum mengungkap detil data semacam itu. Pun dalam hal penindakan terhadap korporasi yang memicu kebakaran lahan. Ini diperparah dengan rancangan perundangan yang memudahkan izin perusahaan yang bisa merusak lingkungan.
"Konteks regulasi malah mati-matian ditekan [dengan] kemudahan mendapatkan izin melalui RUU Omnibus Law [Cipta Kerja]. Ini langkah mundur perlindungan lingkungan dan hutan di Indonesia," tandasnya.
[Gambas:Video CNN] (fey/arh)