Bandung, CNN Indonesia -- Pembatasan Sosial Berskala Besar (
PSBB) di wilayah
Bogor,
Depok, dan
Bekasi (Bodebek) untuk menekan penyebaran
virus corona (Covid-19) tahap pertama telah berakhir pada 28 April 2020. Perpanjangan resmi berlaku terhitung mulai Rabu (29/4) hingga 12 Mei atau selama 14 hari.
Pengamat kebijakan publik Universitas Padjadjaran (Unpad) Yogi Suprayogi menilai PSBB tahap pertama selama dua pekan belum efektif menekan angka kasus positif corona.
Ia mengatakan penyebabnya adalah sanksi tegas tak diterapkan selama masa PSBB.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau PSBB di Bodebek, saya agak pesimis melihat proses pelaksanaannya. Bukan dari sisi kebijakannya, karena kebijakan PSBB-nya sudah bagus," kata Yogi saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Rabu (29/4).
Yogi membandingkan penerapan PSBB di DKI Jakarta. Menurutnya, berdasarkan pemberitaan di media massa menunjukkan kasus Covid-19 bisa landai atau flat. Ini menjadi tolak ukur keberhasilan PSBB.
"Untuk Bodebek ini belum terlalu ketat. Contohnya, kemarin di Bogor Wali Kotanya marah-marah di depan mal karena masih buka dan ada warga yang belum tahu PSBB. Jadi Implementasi dari kebijakan PSBB-nya belum tepat," ujarnya.
Yogi mengusulkan agar pemerintah daerah baik provinsi maupun kota/kabupaten mengusulkan sanksi dalam Undang-Undang Karantina Wilayah sebagai rujukan pelaksana PSBB.
"Misalkan sanksi bagi yang masih berkerumun. Itu bisa disangkutkan ke dalam kegiatan yang mengganggu ketertiban umum selama pembatasan sosial," ujarnya.
 Sejumlah warga melakukan pengawasan mandiri pintu masuk wilayahnya pada hari pertama PSBB. Medan Satria, Bekasi, Jawa Barat, 15 April 2020. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono |
Secara hukum, kata dia, UU memang menjamin orang untuk berkumpul dan berserikat. Namun dalam penanganan wabah, hal itu bisa dikecualikan.
"Jadi yang harus 'dimainkan' dalam peraturannya bisa dispesifikkan kalau orang berkumpul dalam situasi wabah Covid-19 itu bisa mengganggu ketertiban umum," jelasnya.
Selain itu, Yogi juga melihat penerapan PSBB di Jakarta seperti menutup tempat usaha yang tidak dikecualikan tutup bisa ditiru di Bodebek.
"Di Jakarta sudah beberapa cabut izinnya, Bodebek juga seharusnya seperti itu," ujarnya
Menurutnya, penegakan sanksi tersebut akan menggiring masyarakat untuk lebih taat mengikuti aturan PSBB. Sebab, PSBB tidak akan berakhir jika masih ada aktivitas kerumunan yang berpotensi menularkan Covid-19.
"Bodebek ini kan salah satu penyumbang terbesar Covid-19 di Indonesia. Jadi, agar PSBB tidak terlalu lama harus menaati aturan, karena jika PSBB diterapkan terlalu lama juga bisa mengganggu ekonomi," ucapnya.
Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Unpad Bony Wiem Lestari setuju dengan aturan PSBB di Bodebek agar diperketat.
Menurutnya monitoring dan evaluasi PSBB yang dilakukan Gugus penanganan Covid-19 dan Dinas Kesehatan memang penting. Evaluasi dapat dilakukan sebagai rujukan untuk pengambil keputusan.
"Tapi sebetulnya penerapan peraturannya itu tentu harus diadakan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) setempat. Contoh sudah jelas di Permenkes yang harus tidak boleh diselenggarakan lembaga pendidikan, lalu ada kriteria pasar yang harus dipenuhi. Nah, bagaimana perangkat daerah mengawasi dengan ketat," ujarnya.
Berdasarkan pengamatannya di lapangan, Bony masih menemukan pasar dan toko modern belum menerapkan protokol kesehatan. Seperti menyediakan tempat cuci tangan, pengecekan suhu, penggunaan masker dan jaga jarak antara pembeli dan penjual.
"PSBB ini kan tujuan utamanya mengurangi kemungkinan orang berkontak dengan orang lain mengingat pembatasan ini dilakukan karena adanya penyakit infeksi. Jadi salah satu caranya yang bisa kita lakukan mengurangi frekuensi kontak satu orang dengan orang lainnya," ucapnya.
(hyg/sur)
[Gambas:Video CNN]