Jakarta, CNN Indonesia -- Dapur
Imey (30), seorang ibu yang juga orang tua tunggal, sudah lama asing dari
daging. Sebulan ini ia hanya bisa menyiapkan menu nasi dan telur untuk kedua anaknya yang berusia 7 tahun dan 5 tahun.
Dirinya sudah tak lagi bekerja sebagai buruh penjahit di pabrik pakaian. Tenggat waktu kontrak kerjanya habis di tengah keramaian pandemi Covid-19, pada 31 Maret.
Ia bersama 80 pekerja lainnya dilepas sementara tanpa upah. Memikirkan nasib dan perut kedua anaknya, Imey berupaya mencari kerja di tengah wabah. Dia menerobos bahaya Virus Corona dengan bekal masker dan sarung tangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun usahanya tak berbuah. Sebagai buruh penjahit, ia hanya punya kemampuan bekerja di industri pakaian. Mulai dari perusahaan besar hingga konveksi tak ada yang membukakan pintu.
"Saya tinggal di Bogor. Di sini perusahaan garment sudah pada tutup. Sementara saya hanya operator jahit. Ketika mau melamar perusahaan yang garment juga tapi sudah pada tutup, kemana lagi mau melamar?" keluhnya kepada
CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Jumat (1/5).
Tiap kali perjalanan mencari kerja tak membuahkan hasil, pikirannya resah. Ia harus menghidupi dua anak, yang membutuhkan biaya setidaknya Rp3 juta per bulan. Tanpa pekerjaan, hal itu seolah hampir mustahil.
Namun Imey tak punya ruang untuk menyerah. Tak mau anaknya kelaparan, ia pun banting setir menjajakan masker dengan asumsi fasilitas kesehatan sedang naik daun.
Nyatanya pembeli masker sudah tak sebanyak awal wabah masuk ke Indonesia. Tak setiap hari jualannya laku. Kadang, ada hari ia tak dapat pemasukan sama sekali.
 Ilustrasi aksi buruh. (Andry Novelino) |
"Mungkin karena sudah banyak organisasi atau relawan bagi-bagi masker gratis ke warga. Jadi mungkin buat apa beli masker keluar biaya," ujarnya.
Tiap malam Imey masih sibuk memikirkan rencana bertahan hidup ke depan. Pemasukan jualan masker tak bisa diandalkan. Tabungan pun tak mungkin bertahan lama jika tiap bulan dipakai membayar rumah kontrakan.
Senada, Indah (31) bersyukur masih memiliki kesempatan bekerja sebagai pengawas buruh di pabrik sepatu. Meskipun dirinya mengaku tiap keluar rumah rasa takut menyelimuti pikiran.
Setiap hari pabrik tempatnya bekerja menampung sekitar 10 ribu buruh. Meskipun protokol kesehatan gencar dilakukan, ia bersama rekan buruh lain tak bisa menahan diri membahas riuh wabah corona.
"Daya tubuh kita sepertinya melebihi orang biasa, ya. Enggak ada libur. Padahal mah kita takut-takut juga. Ada anak, ada suami di rumah," tuturnya menirukan obrolan di tengah makan siang bersama rekan buruh.
Beberapa upaya dilakukan perusahaan untuk menekan kemungkinan penyebaran virus. Jam masuk kerja untuk buruh dibagi dua, untuk menghindari penumpukan di gerbang masuk.
Sebelum masuk buruh diminta mengikuti beberapa prosedur. Mulai dari pengukuran suhu, pemakaian masker, sampai pemakaian
hand sanitizer di setiap pintu masuk.
Gedung pabrik juga rutin disemprot desinfektan. Dan bagi buruh yang mengeluh sakit, bisa langsung mendatangi klinik di dalam area pabrik.
 Foto: CNNIndonesia/Basith Subastian |
Namun kadang Indah tak bisa membendung keinginan bekerja dari rumah, seperti karyawan kantoran. Wujud virus yang tak terlihat membuatnya kerap bergidik.
"Aku pengen banget kerja di rumah, pengen banget. Tapi mau gimana lagi?" ujarnya.
Karena itu, ia berusaha meminimalisasi kemungkinan terpapar virus dengan naik sepeda motornya setiap hari meski biasanya ia selalu menumpang angkutan umum.
Usai bekerja delapan jam di pabrik, ia memaksakan diri untuk mandi dan bersih-bersih meskipun badannya masih pegal-linu sehabis bekerja di pabrik.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, dalam rangka Hari Buruh Internasional, meminta PHK terhadap buruh dihentikan di tengah pandemi Covid-19 agar tak membuah pekerja makin susah.
"Buruh juga menyuarakan agar tidak ada atau stop PHK di massa pandemi Corona ini. Untuk itu, KSPI mendesak agar pemerintah melakukan langkah sungguh-sungguh untuk mencegah PHK," kata dia, lewat keterangannya di Jakarta, Jumat (1/5), dikutip dari
Antara.
Ia pun meminta perusahaan yang tetap melakukan PHK untuk diaudit oleh akuntan publik. Tujuannya, untuk melihat apakah perusahaan benar-benar merugi atau hanya menjadikan alasan pandemi untuk melakukan PHK buruh.
Pada Kamis (30/4), Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut ada 1,7 juta orang yang diberhentikan dari pekerjaannya selama pandemi Corona. Rinciannya, 375 ribu orang di-PHK, dan 1,4 juta orang dirumahkan.
Jumlah itu, belum termasuk 314.833 orang pekerja sektor informal yang juga terdampak Covid-19.
[Gambas:Video CNN] (fey/arh)