Jakarta, CNN Indonesia -- Genap sudah dua bulan Indonesia menghadapi wabah
virus corona (Covid-19) sejak Presiden
Joko Widodo mengumumkan kasus pertama pada 2 Maret 2020 lalu.
Hingga Sabtu (2/5) ini, tercatat 10.843 penduduk Indonesia terjangkit virus SARS-NCov2 dengan lebih dari 831 kasus berakhir dengan kematian -- tertinggi di
Asia Tenggara.
Berdasarkan catatan
CNNIndonesia.com, penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia belum juga menunjukkan penurunan dalam beberapa pekan terakhir, meski sejumlah kebijakan telah diambil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 30 hari pertama sejak Corona masuk Indonesia, tercatat 1.528 kasus positif, dengan jumlah kematian 136 orang dan 81 dinyatakan sembuh.
Angka ini kemudian melonjak tajam pada hari ke-30 hingga ke-60. Bahkan, dari 10.118 kasus positif yang tercatat pada hari ke-60, 84 persen di antaranya ditemukan pada bulan April.
Pada April juga tercatat penambahan kasus secara signifikan terjadi di provinsi-provinsi di luar DKI Jakarta, wilayah yang semula tercatat sebagai episentrum. Tercatat lima provinsi kini memiliki lebih dari 400 kasus positif yaitu Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.
Penting untuk dicatat, pada bulan April lah Presiden RI Joko Widodo mengambil kebijakan Pembatasan Sosial berskala besar (PSBB) untuk menangani corona. Berdasarkan kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah dapat mengusulkan daerahnya untuk menerapkan PSBB dengan persetujuan Menteri Kesehatan.
DKI Jakarta jadi daerah pertama yang resmi menerapkan PSBB pada 10 April lalu dan kemudian dilanjutkan oleh daerah-daerah penyangga Ibu Kota Negara lainnya seperti Kota dan Kab. Bogor, kota Depok, serta Kota dan Kabupaten Bekasi seminggu kemudian. Banten, Bandung Raya, Surabaya dan beberapa daerah lainnya pun menyusul kebijakan yang sama.
Sementara itu, larangan mudik diberlakukan pada 21 April, ketika sudah ditemukan 7.135 kasus positif.
Menurut Ahli Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, kurva yang belum melandai itu perlu menjadi catatan. Pasalnya, beberapa negara dapat menunjukan perubahan signifikan penanganan wabah usai dua bulan sejak kasus pertama ditemukan.
Sebut saja misalnya, beberapa negara seperti China, Korea Selatan, dan juga Jepang yang kurvanya semakin melandai seiring dengan waktu kebijakan di negaranya ditetapkan.
"Di kita, karena memang pengambilan keputusannya sangat bertahap, sehingga kurvanya naik terus sampai sekarang nih. Jadi pada dua bulan belum terjadi penurunan," kata Hasbullah saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Kamis (30/4).
Menurut dia, terdapat dua faktor yang membuat Indonesia belum dapat mencatatkan tren penurunan jumlah kasus positif dalam dua bulan pertama penanganan. Pertama, kata dia, adalah pola prilaku masyarakat yang tidak disiplin dalam menjaga jarak ataupun mengikuti sejumlah protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah.
Kemudian, menurutnya, keterlambatan penetapan sejumlah kebijakan strategis oleh pemerintah pun turut ambil bagian dalam hal ini.
Misalnya, penetapan status pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa wilayah yang tidak berbarengan sehingga menyebabkan penyebaran meluas.
"Faktor pemerintahnya, penegakan hukum menjadi sulit karena kita bertahap PSBB-nya," kata dia.
"Duluan di DKI jakarta, setelah itu baru di Jawa Barat. Kalau sinkron, kayak negara lain kan sinkron tuh, bisa jadi lebih mudah penanganannya," lanjut dia.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra bahkan menilai kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah itu tidak seirama.
Sehingga, menurutnya, lagi-lagi penanganannya pun menjadi terlambat dan dapat berakibat pada puncak wabah virus yang belum juga terjadi.
"Penanganan Covid-19 di Indonesia memang kita agak terlambat dari aspek regulasi kebijakan, penegakan terhadap kebijakan, maupun sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan itu sendiri," kata Hermawan.
Uji PCR Massal yang Belum Juga TerjadiSalah satu masalah yang kerap menjadi sorotan dalam penanganan wabah adalah kapasitas pemeriksaan
Polymerase Chain Reaction (PCR) dan juga melakukan pelacakan kasus positif secara masif.
Masalah ini pun menjadi sorotan Jokowi. Pada pertengahan April lalu, dia juga meminta jajaran pembantunya untuk meningkatkan jumlah tes PCR hingga 10 ribu sekali.
"Paling tidak kita bisa tes lebih dari 10 ribu," kata Jokowi saat membuka Rapat Terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/4).
Berdasarkan catatan
CNNIndonesia.com, pemeriksaan PCR sendiri mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa pekan terakhir, meski belum mencapai keinginan Jokowi 10 ribu uji dalam satu hari.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan pemerintah tercatat melakukan 6.663 tes PCR pada periode
30 Desember-31 Maret, sementara pada
1-30 April pemerintah melakukan 65.658 tes.
Artinya, rataan pemeriksaan harian meningkat dari semula 204 tes per-hari pada Maret 2020 menjadi 2,189 tes per-hari pada April 2020. Sebagai catatan, angka tertinggi jumlah pengujian dalam satu hari terjadi pada 12 April 2020 lalu yaitu untuk 7.111 orang.
Jika diakumulasikan, Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto mengatakan bahwa sudah ada 107.943 spesimen dari 79.868 orang yang diuji per Sabtu (2/5). Jumlah itu pun dinilai masih jauh dari kata pengujian secara masif, seperti yang diumbar oleh pemerintah sejauh ini.
"Belum (masif), penduduk kita 270 juta, tesnya baru 100 ribuan. Masih sangat sedikit," kata Hasbullah.
Sebagai perbandingan, Vietnam yang penanganan wabah coronanya menuai pujian dari berbagai pihak, melakukan 180 ribu pengujian sejak Januari lalu, meski hanya terdapat 270 kasus positif.
Hasbullah sendiri menyatakan jumlah tes yang sedikit bisa dimaklumi jika dilakukan tepat sasaran. Namun, menurut dia, pola pelacakan kasus positif Covid-19 di Indonesia pun masih bermasalah. Salah satu penandanya, menurut Hasbullah, adalah tidak ada teknologi yang digunakan untuk melakukan pelacakan pada lingkaran orang-orang yang kontak dengan pasien positif.
"(Ada) dikembangkan
software yang mendata. Kalau kita mendekati (pasien positif) kan sekarang bisa dengan GPS ketahuan. Kalau data itu
online, misalnya kamu dekat dengan dengan riawayat pernah kontak, nanti di HP ada warning," kata dia.
"Sebenarnya kan teknologi memungkinkan itu. Tapi kita tidak punya instrumen itu. Jadi gimana masyarakat bisa tahu," lanjut dia.
Selain itu, Hasbullah juga menyoroti sejumlah kasus yang memperlihatkan ketidakjujuran pasien Covid-19 saat berhadapan dengan petugas kesehatan terkait dengan penanganan Covid-19. Di beberapa daerah, kasus itu kemudian berujung pada meninggalnya petugas kesehatan karena pelacakan kasus menjadi berantakan.
Oleh sebab itu, kata dia, respon dan juga kedisiplinan masyarakat dalam menghadapi wabah pandemi ini pun menjadi penting.
"Karena kita punya masalah tadi disiplin masyarakat," tukas dia.
Tingkat Kematian yang TinggiSelain masalah pelacakan dan uji PCR, tingkat kematian pasien akibat virus corona (Covid-19) di Indonesia juga menjadi sorotan.
Indonesia merupakan negara dengan angka kematian tertinggi di Asia Tenggara, baik secara jumlah mutlak (lebih dari 800 korban jiwa) maupun persentase dari total kasus. Hingga akhir April, tingkat kematian akibat corona di Indonesia mencapai 7,58 persen, sebelumnya angka ini berkisar pada 8 hingga 9 persen.
Meski demikian, patut dicatat angka kematian di Indonesia mengalami perlambatan pada 10 hari terakhir. Jika pada hari ke-41 hingga ke-50 tercatat 284 korban jiwa, maka pada hari ke-50 hingga ke-60 menurun 202 kasus.
Hasbullah menyatakan belum dapat menyimpulkan alasan tingginya persentase kematian di Indonesia itu. Menurut dia, diperlukan analisis yang mendalam terkait dengan kematian antar individu akibat corona karena faktor yang mempengaruhinya pun banyak.
Sementara itu, pemerintah tidak dapat menyajikan dan juga membuka pendataan yang lengkap terkait dengan kasus-kasus kematian tersebut.
"Itu yang mau saya kaji, untuk melihat apa penyebabnya. Karena memang di satgas juga tidak mencatat itu dengan baik ya, sampai detail kliniknya," kata Hasbullah menjelaskan.
"Pasien masuk itu kondisi apa dan meninggalnya setelah berapa hari di RS," tambah dia.
Menurut dia, setidaknya terdapat dua faktor sehingga angka kematian di Indonesia demikian tinggi.
Pertama, kata dia, bisa saja kondisi dari fasilitas kesehatan di Indonesia yang belum memadai untuk menangani sejumlah kasus corona.
Kedua, jika dilihat dari faktor pasien yang terjangkit virus corona, menurut dia sangat memungkinkan apabila pasien-pasien tersebut mendapatkan penanganan yang terlambat.
Hal itu bisa terjadi dikarenakan pasien yang terlambat menyadari kondisinya, atau deteksi dini yang terlambat dari pemerintah.
"Jadi pasienya masa
bodo, awal kira cuma batuk saja, dia tahan di rumah tidak pergi (ke RS), kemudian sudah sesak, sudah enggak bisa lagi napas, terpaksa dibawa ke rumah sakit. Pada posisi seperti itu, paru-parunya sudah ibarat kata rusak semua. Sudah enggak bisa lagi ditolong," jelas dia.
Berdasarkan catatan, jumlah angka kematian akibat corona di Indonesia mencapai 800 pasien. Jumlah itu terbanyak pertama jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga lain di kawasan ASEAN.
Hanya terdapat dua negara di kawasan ASEAN yang mencatatkan tingkat kematian lebih dari lima persen selama penanganan corona. Selain Indonesia, Filipina pun juga mengalami kasus serupa. Sejak melaporkan kasus pertama, penanganan corona di Filipina kini sudah berumur 95 hari.
Mereka mencatatkan jumlah kasus positif sebanyak 8.488 dengan jumlah kasus kematian mencapai 568 atau 6,69 persen dari jumlah keseluruhan.
Beda halnya dengan Singapura yang sudah menangani wabah corona lebih dari 100 hari dengan kasus positif mencapai 16.169. Namun, tercatat hanya terdapat 14 warganya yang meninggal akibat covid-19 dengan fatality rate hanya 0,09 persen.
"Bisa jadi orang di Singapura sudah terdidik, kasus berat sedikit dia sudah masuk rumah sakit," jelas Hasbullah.
"Di samping itu kualitas layanan RS jauh lebih bagus dari kita," lanjutnya.
Menurut dia memang tingginya angka kematian ini harus menjadi satu fenomena yang harus diteliti lebih lanjut lagi. Pasalnya, hal itu berbeda dengan akumulasi jumlah kasus sembuh covid-19 yang terus mengalami peningkatan. Saat ini 15,05 persen pasien positif Covid-19 dinyatakan sembuh dan terus mengalami peningkatan setiap harinya.
Hasbullah beranggapan, untuk bisa membuat puncak wabah corona di Indonesia segera berakhir, pemerintah perlu fokus pada penjagaan terhadap warganya agar tidak saling berinteraksi dan menyebarkan virus. Menurut dia, pemutusan rantai penyebaran itu harus ditangani secara lebih serius.
Oleh sebab itu, menurutnya, kebijakan yang diambil harus berpatokan pada pola penyebaran virus corona yang hingga saat ini pun masih terjadi. PSBB, kebijakan larangan mudik, dan lainnya harus memiliki penegakan hukum yang tegas untuk memutus penyebaran.
(mjo/vws)
[Gambas:Video CNN]