Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) mengatakan pemerintahan
Joko Widodo belum menjalankan rekomendasi untuk mengatasi defisit
BPJS Kesehatan. Diketahui kebijakan iuran
BPJS naik lagi yang diteken lewat perpres Jokowi telah menyulut polemik di saat masyarakat menderita akibat wabah corona.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menuturkan dalam kajian yang dikirimkan pada 30 Maret tersebut terdapat penjelasan soal tata kelola BPJS Kesehatan yang mengalami defisit triliunan rupiah serta berpotensi merugikan keuangan negara.
"Sama sekali belum [menjalankan rekomendasi]. Respons dari Istana saja belum tahu kita. Biasanya kan didisposisi ke mana gitu. Nanti kita ikuti," kata Pahala kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (14/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Presiden Joko Widodo diketahui menerbitkan Perpres 64 Tahun 2020 yang memutuskan menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) atau peserta mandiri secara bertahap mulai Juli 2020.
Padahal, MA baru membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan 100 persen yang diberlakukan Jokowi mulai awal 2020.
Pahala mengungkapkan kebijakan menaikkan iuran justru akan menambah tunggakan terutama dari peserta mandiri.
"Kolektibilitas dari segmen mandiri rata-rata hanya 50 persen. BPJS defisit terbesar dari segmen mandiri pekerja informal, bukan penerima upah," ujarnya.
 Foto: CNN Indonesia/Fajrian |
RekomendasiDalam kajian itu, KPK menyarankan sejumlah hal kepada pemerintah. Misalnya, pertama, mendorong Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyelesaikan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNMK) guna mengatasi defisit BPJS Kesehatan yang mencapai Rp12,2 Triliun pada tahun 2018.
Pahala menjelaskan PNMK bertujuan untuk menekan perlakuan tidak perlu atau unnecessary treatment yang menyebabkan klaim tidak terkontrol.
Kedua, KPK mengusulkan pembatasan manfaat untuk katastropik atau penyakit yang muncul akibat gaya hidup. Pasalnya, klaim lima penyakit katastropik, yakni jantung, diabetes, kanker, stroke dan gagal ginjal, mencapai Rp28 triliun.
Ketiga, mengkoordinasikan BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta atau
coordination of benefit. Pahala berpendapat hal ini bertujuan untuk mengalihkan sebagian klaim-klaim BPJS dan mengurangi inefisiensi di tingkat kelembagaan.
"Sebenarnya 20-30 persen klaim yang di BPJS bisa dibagi dengan swasta. Mana yang di-
cover swasta, mana BPJS. Kita duga sekitar Rp600-Rp900 M bisa ditanggung oleh swasta," kata Pahala.
Keempat, tambah dia, KPK meminta Kemenkes untuk mengimplementasikan
co-payment 10 persen sesuai Peraturan Menkes Nomor 51 Tahun 2018.
"Jadi, peserta mandiri-bukan pegawai perusahaan atau lembaga-itu dianggap yang mampu kelas I dan II, iuran mampu, harusnya waktu dia klaim dia tanggung 10 persen," tuturnya.
[Gambas:Video CNN]"Klaimnya yang mampu itu ada sekitar Rp2,2 T di tahun 2018. Kita bayangkan kalau co-payment ini dijalankan, maka sebenarnya Rp2,2 T didapat oleh BPJS dalam bentuk kekurangan klaim," ujarnya lagi.
Kelima, evaluasi terhadap Rumah Sakit (RS) yang penetapan kelasnya tidak sesuai dengan fasilitas ataupun pelayanan kesehatan.
Pahala menambahkan Kemenkes sudah menindaklanjuti hal tersebut dan telah mengevaluasi sekitar 7 ribu RS di Indonesia. Hasilnya, 898 RS dinyatakan tidak sesuai dengan kelasnya.
"Terakhir kita dapati
fraud masih saja terjadi. Fasilitas kesehatan tidak efisien dalam penanganan sehingga melebihi Pagu," ungkap dia.
"Untuk mengatasinya disuruh orang keluar, masuk lagi didaftarkan sebagai kasus baru. Padahal orang sama penyakit sama. Kita temukan di beberapa," tutur Pahala.
(ryn/arh)
[Gambas:Video CNN]