Jakarta, CNN Indonesia -- Gyta tidak bisa menyembunyikan raut muka sedih karena meredam rindu pelukan ibu ketika gema takbir 1 Syawal berkumandang, dua hari lalu.
Di hari kemenangan, ia seharusnya mengenakan baju baru yang seragam dengan ibunya dan menikmati kehangatan keluarga.
Namun alih-alih berparas prima, ia justru sibuk menenteng seperangkat 'alat perang' demi menemui pasien terinfeksi virus corona (Covid-19) di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hari-hari Gyta selama sebulan terakhir memang diisi sebagai perawat relawan pada bangunan yang disulap untuk menjaga mereka yang terpapar virus.
"Saya mendaftar menjadi relawan karena rasa kemanusiaan. Selain itu saya mengumpamakan, apa yang terjadi jika (virus corona) itu terjadi pada saya atau orang tua saya," kata perempuan bernama lengkap Gyta Permata saat ditemui CNNIndonesia.com di area RS Darurat Wisma Atlet, Minggu (24/5).
Hari-harinya di hari lebaran diisi dengan melapisi tubuh menggunakan tiga jenis pakaian medis yang membuatnya merasa seperti astronot ketika menatap cermin. Siklus itu telah berjalan selama hampir 35 hari -- dihitung saat pertama kali ia memutuskan menjadi relawan kesehatan.
"Saya rindu pelukan ibu, momen sungkeman sama orang tua, bikin kue bareng mama. Saya sedih setiap melihat sosial media, semua orang bisa update bersama keluarga tapi itu tidak bisa saya rasakan disini," ujarnya mulai terisak.
Pertahanannya sempat ambyar saat gema takbir sayup terdengar di telinganya dari balik tembok wisma atlet. Suara itu mengingatkannya pada asin manis opor buatan ibu.
Perempuan berusia 25 tahun itu mengaku selama ini tekat menjadi relawan tak pernah gentar meski diimpit ketakutan tertular virus corona. Namun ternyata ia keliru. Keinginan untuk bertemu keluarga demi bisa mencium punggung tangan ayah ibu datang menggebu-gebu dengan kuat.
"Puncak saya rasa sedih semalam dan tadi pagi, kemarin-kemarin saya bisa tidak menangis, tapi dengar takbir saya runtuh," kata dia.
Ibunya tidak pernah menentang langkahnya menjadi relawan. Bagaimana tidak, ibu adalah sosok yang mengarahkannya ke jalan yang 'benar', jalan yang kini dicintai Gyta sejak ia berhasil menjadi lulusan Akademi Keperawatan beberapa tahun silam.
Kecintaan itu yang membawanya mengajukan diri sebagai relawan. Kini ternyata Gyta harus memasang badan sebagai seorang perawat dan penghibur bagi para pasien yang psikisnya tengah dirongrong corona.
Gyta selalu mengumpamakan pasien yang ia hadapi sebagai Ibu atau Ayahnya, dengan begitu pekerjaan sukarelanya tidak menjadi momok yang membuatnya gelisah. Ia selalu berusaha menganggap semua orang yang ia temui di Wisma Atlet sebagai keluarga.
Pernah suatu hari, seorang pasien lelaki berusia sebaya Ayahnya datang tertatih sendirian dibawa petugas puskesmas yang mengusulkan rujukan. Pasien itu menangis, meratapi kisahnya kepada Gyta. Di hari jelang lebaran itu mereka berbagai mengusir kesepian.
Gyta sadar di balik maskernya ia harus terus menggurat senyum demi mendamaikan kekalutan pasien yang menjalani isolasi sendirian. Menurutnya, hal itu pembelajaran baru bagi dirinya untuk mengedepankan sikap empati.
"Saat saya sudah sentuhan dengan pasien, saya memakai APD, merangkul, memegang tangannya, saat dia datang jalan gugup gemetaran saya tatap pelan-pelan, saya merasa mereka keluarga saya," tuturnya.
Melihat duka pasien dan luka kerinduan tenaga medis, Gyta mengaku marah saat sebagian orang yang tak peduli dengan berbagai pembatasan sosial.
Gyta pun memohon masyarakat untuk mampu menahan diri dengan baik untuk menolong tim medis yang merupakan garda terdepan, agar dapat kembali menikmati santapan keluarga di rumah masing-masing.
"Saya kecewa banget waktu lihat sosmed dan berita di luar sana masih banyak orang sibuk berkerumun di mal untuk cari baju lebaran, sedangkan kami disini boro-boro cari baju lebaran. Mereka sama sekali tidak peduli dengan kami yang berjuang tidak bertemu keluarga berbulan-bulan," jelasnya.
Ia mengajak masyarakat yang masih membandel untuk membayangkan rasanya gerah di dalam APD, menahan rasa lapar dan minum serta menahan buang air kecil. Rutinitas itu harus dilakukan relawan medis yang terbagi menjadi tiga shift per harinya.
"Saya salat saja duduk, karena pakai APD tidak bisa sujud betul," ujarnya.
Akhirnya, Gyta hanya bisa berdoa di tengah upayanya. Ia berkhayal penularan virus bisa segera berhenti sehingga seluruh kasus mengalami stagnasi dan ia tinggal membantu kesembuhan sisa pasien.
Berharap pun ternyata masih sakit saat ia kembali mencubit tangannya. Ia sadar, dengan di luar sana orang bebas dan menghiraukan imbauan Pemerintah, maka mungkin ia akan terus mendekam di dalam kamarnya di Wisma Atlet.
Rutinitas tiap pagi menjumpai wajah pasien-pasien baru jangan-jangan masih belum akan berakhir.
"Seorang pasien pernah curhat soal berpisah dengan keluarga, saya ceritakan (kisah saya) lalu dia bilang 'suster lebih hebat, kalian semua'. Saya yang awalnya menguatkan, malah dikuatkan," kata Gyta.
"Itu yang saya jadikan alasan bertahan," tutupnya.
(vws)
[Gambas:Video CNN]