
Mahasiswa Tuntut Pembebasan Tapol Papua: Satu Luka Semua Rasa
CNN Indonesia | Selasa, 16/06/2020 16:38 WIB

Surabaya, CNN Indonesia -- Puluhan orang yang mengatasnamakan dirinya Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar aksi demonstrasi damai di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, menuntut pembebasan tujuh tahanan politik (tapol) Papua.
Tujuh orang warga Papua diketahui tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan dengan tuduhan makar karena menggelar demonstrasi anti-rasialisme. Mereka dituntut hingga belasan tahun penjara.
"Segera bebaskan tujuh tahanan politik Papua di Balikpapan, Kalimantan Timur, tanpa syarat," teriak salah satu orator aksi, di Surabaya, Selasa (16/6) pagi.
Pantauan CNNIndonesia.com di lokasi aksi, para mahasiswa Papua tetap menerapkan protokol kesehatan. Mereka berdiri dengan memberi jarak satu meter tiap orang, memakai masker, sembari membentangkan poster.
"Orang Papua punya ingatan dan ikatan emosional, satu luka semua rasa, satu sedih semua sedih, satu menangis semua menangis," kata dia.
Juru bicara AMP Surabaya, Sam Kayame, mengatakan hal ini bermula dari aksi rasisme dan pengepungan yang dilakukan oknum aparat dan ormas reaksioner di Asrama Mahasiswa Papua, Jalan Kalasan Surabaya, 16-17 Agustus 2019 lalu.
Peristiwa itu lantas memicu pecahnya aksi unjuk rasa yang lebih besar di Provinsi Papua dan Papua Barat. Di berbagai kota dan kabupaten. Mereka menuntut pelaku rasisme diadili.
Namun, kata dia, yang terjadi justru bukan keadilan bagi orang Papua, melainkan pembungkaman lewat diblokirnya internet hingga dikriminalisasinya sejumlah aktivis dengan tuduhan makar.
"Hal ini dibuktikan dengan adanya penggunaan pasal makar untuk menangkap dan menahan aktivis politik Papua dan pembela HAM Papua," kata Sam.
Ia menyebut tujuh aktivis Papua tersebut dituntut dengan ancaman penjara yang sangat diskriminatif oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Mereka pun menilai tuntutan itu sebagai bentuk rasisme hukum Indonesia.
Yakni, Buctar Tabuni dituntut 17 tahun penjara, Agus Kossai 15 tahun penjara, Steven Itlay 15 tahun, Ferry Gombo 10 tahun penjara, Alex Gobay 10 tahun, Irwanus Uropmabin 5 tahun, dan Hengki Hilapok 5 tahun.
Sementara, pelaku ujaran rasialisme di Surabaya yang menjadi sumber peristiwa ini, yakni oknum aparatur sipil negara (ASN) Syamsul Arifin dan pimpinan ormas reaksioner Tri Susanti hanya dijatuhi hukuman 5 dan 7 bulan penjara. Oknum TNI yang terlibat pun tak jelas proses hukumnya hingga sekarang.
"Ini tidak setimpal, bagaimana hukuman dari pelaku rasisme lebih ringan dari korban rasis," ujar Sam.
Maka itu, ia menilai penangkapan para aktivis Papua tersebut,kata dia, jelas merupakan bentuk pembungkaman demokrasi, padahal menyampaikan pendapat diatur dalam pasal 28E ayat 3 UUD 1945.
"Sehingga kami berpendapat bahwa penangkapan dan penahanan terhadap aktivis politik Papua berdasarkan pertimbangan terhadap kondisi objektif yang ada, dan berdasarkan hukum yang berlaku, tidak dapat dibenarkan," pungkasnya.
Aksi ini tak hanya diikuti oleh Mahasiswa Papua, sejumlah mahasiswa asal Surabaya juga mengikuti demonstari damai ini. Aksi sendiri berjalan kondusif dengan penjagaan ketat aparat kepolisian.
Terpisah, organisasi International Indigenous Peoples Movement for Self-Determination and Liberation (IPMSDL) mendesak Pemerintah Indonesia membebaskan para tapol Papua tanpa syarat.
"Batalkan semua tuntutan kepada para tapol Papua yang hanya sedang melatih penyampaian hak kebebasan berpendapat dan berkumpul," kata organisasi ini dalam pernyataan resminya, Selasa (16/6).
IPMSDL merupakan gabungan berbagai organisasi, komunitas, dan advokat masyarakat Adat di berbagai negara. Misinya, mendukung dan menumbuhkan solidaritas dan penghormatan hak-hak masyarakat adat atas tanah, kehidupan, penentuan nasib sendiri, dan pembebasan.
"Jangan menggunakan hukum untuk membungkam aktivisme di seluruh Indonesia, khususnya di Papua, Barat Papua, dan Maluku," tandas IPMSDL.
(frd/asa/arh)
[Gambas:Video CNN]
Tujuh orang warga Papua diketahui tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan dengan tuduhan makar karena menggelar demonstrasi anti-rasialisme. Mereka dituntut hingga belasan tahun penjara.
"Segera bebaskan tujuh tahanan politik Papua di Balikpapan, Kalimantan Timur, tanpa syarat," teriak salah satu orator aksi, di Surabaya, Selasa (16/6) pagi.
"Orang Papua punya ingatan dan ikatan emosional, satu luka semua rasa, satu sedih semua sedih, satu menangis semua menangis," kata dia.
Juru bicara AMP Surabaya, Sam Kayame, mengatakan hal ini bermula dari aksi rasisme dan pengepungan yang dilakukan oknum aparat dan ormas reaksioner di Asrama Mahasiswa Papua, Jalan Kalasan Surabaya, 16-17 Agustus 2019 lalu.
Peristiwa itu lantas memicu pecahnya aksi unjuk rasa yang lebih besar di Provinsi Papua dan Papua Barat. Di berbagai kota dan kabupaten. Mereka menuntut pelaku rasisme diadili.
![]() |
"Hal ini dibuktikan dengan adanya penggunaan pasal makar untuk menangkap dan menahan aktivis politik Papua dan pembela HAM Papua," kata Sam.
Ia menyebut tujuh aktivis Papua tersebut dituntut dengan ancaman penjara yang sangat diskriminatif oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Mereka pun menilai tuntutan itu sebagai bentuk rasisme hukum Indonesia.
Yakni, Buctar Tabuni dituntut 17 tahun penjara, Agus Kossai 15 tahun penjara, Steven Itlay 15 tahun, Ferry Gombo 10 tahun penjara, Alex Gobay 10 tahun, Irwanus Uropmabin 5 tahun, dan Hengki Hilapok 5 tahun.
"Ini tidak setimpal, bagaimana hukuman dari pelaku rasisme lebih ringan dari korban rasis," ujar Sam.
Maka itu, ia menilai penangkapan para aktivis Papua tersebut,kata dia, jelas merupakan bentuk pembungkaman demokrasi, padahal menyampaikan pendapat diatur dalam pasal 28E ayat 3 UUD 1945.
"Sehingga kami berpendapat bahwa penangkapan dan penahanan terhadap aktivis politik Papua berdasarkan pertimbangan terhadap kondisi objektif yang ada, dan berdasarkan hukum yang berlaku, tidak dapat dibenarkan," pungkasnya.
![]() |
Terpisah, organisasi International Indigenous Peoples Movement for Self-Determination and Liberation (IPMSDL) mendesak Pemerintah Indonesia membebaskan para tapol Papua tanpa syarat.
"Batalkan semua tuntutan kepada para tapol Papua yang hanya sedang melatih penyampaian hak kebebasan berpendapat dan berkumpul," kata organisasi ini dalam pernyataan resminya, Selasa (16/6).
IPMSDL merupakan gabungan berbagai organisasi, komunitas, dan advokat masyarakat Adat di berbagai negara. Misinya, mendukung dan menumbuhkan solidaritas dan penghormatan hak-hak masyarakat adat atas tanah, kehidupan, penentuan nasib sendiri, dan pembebasan.
(frd/asa/arh)
[Gambas:Video CNN]
TOPIK TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT
BACA JUGA
LIHAT SEMUA
Berita Daerah Terbaru
LAINNYA DI DETIKNETWORK
TERPOPULER

Bima Arya Beberkan Data Swab Rizieq di Persidangan
Nasional • 3 jam yang lalu
Reshuffle, Ngabalin Sebut Jokowi Akan Lantik Mendikbud-Ristek
Nasional 1 jam yang lalu
Daftar Daerah yang Diperbolehkan Mudik Lokal Jelang Lebaran
Nasional 4 jam yang lalu