Kasus besar lain yang sempat diungkap kepolisian, yakni korupsi pengadaan mobile crane di PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II. Kasus itu mencuat ke publik usai penyidik menemukan alat-alat crane itu mangkrak di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Seharusnya, Pelindo II mendistribusikannya ke delapan pelabuhan berbeda.
Setelah diselidiki, ternyata delapan pelabuhan itu tidak membutuhkan alat-alat tersebut. Karena itu, penyidik menduga ada motif penyelewengan di balik pengadaan 10 alat berat tersebut.
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pun menemukan kerugian negara akibat pengadaan mobile crane tersebut mencapai Rp37,9 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kasus ini, setidaknya kepolisian telah menetapkan sejumlah tersangka, yakni mantan Direktur Teknik Pelindo II Ferialdy Noerlan. Dia diduga bertanggungjawab atas proyek pengadaan 10 mobile crane yang dipermasalahkan.
Kemudian, Haryadi Budi Kuncoro yang turut membantu Ferialdy dalam melakukan korupsi. Diketahui, Haryadi yang juga adik mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto itu merupakan mantan Manajer Senior Peralatan Pelindo II.
Baik Ferialdy maupun Haryadi telah divonis Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat dengan pidana 1 tahun 4 bulan penjara.
Selain itu, kasus ini juga bergulir di KPK. Dalam penanganannya, KPK menetapkan RJ Lino sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC) tahun anggaran 2010 pada 18 November 2015. Namun bedanya, pemberkasan perkara RJ Lino tak kunjung rampung sampai saat ini.
Kasus korupsi lainnya yang sedang dalam tahap penyidikan kepolisian, yakni dugaan korupsi PT Bank Mandiri Tbk (Persero) dalam pemberian kredit kepada perusahaan pembiayaan milik Grup Columbia, PT Sunprima Nusantaran Pembiayaan (SNP) Finance. Hingga kini, kasus itu telah menyeret Komisaris Utama PT SNP, Leo Chandra sebagai tersangka.
Sebagai kreditur, PT Bank Mandiri memberikan limit fasilitas kredit kepada PT SNP Finance sebesar Rp10,525 triliun untuk rentang waktu 2004 hingga 2015.
Awi menjelaskan, dugaan korupsi itu diduga telah merugikan negara hingga Rp1,7 triliun. Namun, hingga saat ini pihaknya masih menunggu perhitungan kerugian negara versi BPK yang masih berlangsung.
Kasus terakhir yang mencuat ke publik, yakni kasus dugaan korupsi pengadaan beras impor oplosan.
Dalam kasus ini, dugaan korupsi terjadi karena beras-beras impor tersebut bisa sampai ke tangan distributor ilegal, PT DSU. Hal ini sudah diendus sejak pertama kali penyidik menemukan gudang para pengoplos beras itu di kawasan Cipinang, Jawa Timur.
Ketika melakukan penggerebekan, polisi mendapati tersangka sedang mengoplos beras lokal bermerk Palem Mas dengan beras impor dari Thailand. Ditemukan 200 ton beras serta para pekerja yang tertangkap basah sedang mengoplos beras dengan perbandingan 2/3 beras lokal, dan 1/3 impor.
Beras lokal tersebut berharga Rp11.000 per kilogram. Sementara beras impor dihargai lebih murah, yakni Rp7.500 per kilogram. Setelah dioplos, penjual tetap menjual beras dengan harga Rp11.000. Dengan demikian, mereka bisa mendapat untung Rp4.000 per kilogram.
Polri sendiri telah menetapkan Kepala Perusahaan Umum Badan Usaha Logistik (Bulog) Regional Jakarta-Banten Agus Dwi Indiarto sebagai tersangka Selain Agus, polisi juga menangkap dan menetapkan tersangka kepada empat orang lain yang merupakan penyalur beras-beras tersebut.
(mjo/osc)