Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan penundaan pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) oleh DPR dengan alasan adanya pandemi Covid-19.
Padahal, perundangan itu merupakan janji semua calon presiden dan sejumlah politikus di Pemilu 2014.
"Komnas Perempuan menyesalkan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) turut ditunda," menurut siaran pers Komnas Perempuan, dikutip dari situs resminya, Kamis (2/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Padahal, RUU PKS merupakan program prioritas legislasi nasional sejak tahun 2014. Saat itu, RUU ini bahkan menjadi janji yang digadang-gadang semua calon presiden, partai pengusung, maupun sejumlah calon anggota parlemen di tingkat nasional maupun daerah," urai Komnas.
Penundaan pembahasan RUU PKS ini sendiri menjadi kesepakatan dalam rapat koordinasi Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan Pimpinan Komisi I sampai Komisi XI, pada 30 Juni.
Sebelumnya, pembahasan RUU PKS sempat ditentang sebagian kelompok masyarakat, terutama yang berafiliasi dengan ormas keagamaan oposisi, akibat serangan hoaks legalisasi zina dan LGBT, pada 2019. Saat itu, DPR pun menunda pembahasannya.
Komnas Perempuan menduga penundaan berulang ini terkait dengan ketidakpahaman sebagian besar Anggota DPR terhadap kegentingan ancaman kekerasan seksual.
![]() |
"Penundaan berulang ini dapat menimbulkan dugaan bahwa sebagian besar Anggota DPR RI belum memahami dan merasakan situasi genting persoalan kekerasan seksual yang terjadi saat ini," kata Komnas Perempuan.
Sementara, kata Komnas, kasus kekerasan seksual meningkat dan semakin kompleks tiap tahunnya. Tak terkecuali pada masa pandemi Covid-19.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 menunjukkan pelaporan kasus kekerasan seksual pada 2019 mencapai 4.898 kasus. Pada Januari hingga Mei 2020, terdapat 542 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Relasi Personal terhadap perempuan. Sebanyak 170 kasus (24 persen) di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.
Pada ranah komunitas, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 226 kasus, dengan 203 di antaranya (89 persen) adalah kasus kekerasan seksual.
"Di kedua ranah tersebut kekerasan seksual yang paling banyak diadukan adalah kasus Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) baik yang dilakukan oleh mantan pacar, pacar, bahkan orang yang tidak dikenal dengan berbagai macam bentuk kekerasan," kata Komnas Perempuan.
"Di antaranya, ancaman penyebaran foto dan video bernuansa seksual, mengirimkan atau mempertontonkan video bernuansa seksual,eksibisionis, hingga eksploitasi seksual," imbuh pernyataan itu.
![]() |
Di sisi lain, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang diproses hukum masih minim. Contohnya, ada 13.611 kasus perkosaan yang dilaporkan ke lembaga layanan tingkat pertama pada periode 2016-2019. Sementara, jumlah kasus perkosaan yang dilaporkan ke kepolisian hanya 29 persen.
"Sekitar 70 persen dari kasus yang dilaporkan kepolisian diputus oleh pengadilan, atau sekitar 22 persen dari jumlah total kasus yang diterima lembaga layanan," kata Komnas Perempuan.
Diketahui, lembaga layanan biasanya semacam unit kerja yang terkait Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang melayani aduan soal kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Persoalan di tingkat substansi dari hukum pidana, struktur dan kultur hukum ditengarai telah menghalangi korban kekerasan seksual, terutama perempuan, untuk memperoleh keadilan dan mendapatkan dukungan penuh untuk pemulihan," menurut pernyataan itu.
Karena itulah, Komnas Perempuan meminta DPR untuk tak lebih lama menunda-nunda pembahasan RUU PKS sekaligus mendorong Pemerintah untu aktif mendukung RUU ini.
"Komnas Perempuan merekomendasikan agar DPR RI memastikan bahwa pembahasan RUU PKS akan dilaksanakan di tahun 2021 tanpa penundaan lagi," tandasnya.
(antara/arh)