Riwayat RUU PKS di DPR: Sarat Kecurigaan, Mengulur Pembahasan

CNN Indonesia
Kamis, 02 Jul 2020 10:11 WIB
Seratusan wanita yang tergabung dalam Emak-Emak Militan mendatangi Gedung DPRD Sumatera Selatan, Palembang menolak RUU PKS, Palembang, Rabu (25/9). (CNNIndonesia/hafizd)
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah menjadi sorotan publik sejak lama, namun kini pembahasannya kembali ditunda oleh DPR (CNNIndonesia/hafizd)
Jakarta, CNN Indonesia --

Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali menjadi sorotan publik setelah Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang menyatakan pencabutan RUU itu dari Prolegnas Prioritas Tahun 2020.

RUU PKS telah melalui jalan panjang. Awalnya, aturan ini diinisiasi Komnas Perempuan sejak 2012 menyusul kondisi Indonesia yang darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

Sekitar empat tahun lamanya Komnas Perempuan membujuk DPR agar membuat payung hukum soal kekerasan seksual. Baru pada Mei 2016, Komnas Perempuan diminta untuk menyerahkan naskah akademik payung hukum tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bak gayung bersambut, DPR dan pemerintah pun sepakat memasukkan RUU tersebut dalam Prolegnas Prioritas 2016. Pada Juni 2016, Presiden Joko Widodo menyatakan dukungan terhadap RUU PKS.

Dalam Rapat Paripurna 6 April 2017, RUU PKS disepakati sebagai inisiatif DPR. Awalnya, RUU ini akan dibahas oleh pansus di Komisi III yang membidangi hukum dan keamanan. Namun akhirnya diputuskan RUU ini ditangani oleh Komisi VIII yang membidangi agama dan sosial.

Setelah disepakati lewat paripurna, DPR mengirim draf RUU PKS ke pemerintah. Semula, RUU rumusan Komnas Perempuan berisi 152 pasal. Namun setelah dilayangkan ke pemerintah, RUU itu dipangkas hingga hanya 50 pasal.

Pembahasan pun berlanjut ke tahun 2018. Saat itu, Komisi VIII mengundang sejumlah elemen masyarakat untuk menjaring pendapat. Namun pada akhir 2018, DPR memutuskan RUU itu ditunda pembahasannya hingga selesai Pemilu 2019.

Setelah pemilu, RUU PKS jadi salah satu draf yang dikebut DPR periode 2014-2019. Namun dalam perjalanannya, RUU ini menuai pro-kontra.

Di parlemen, pembicaraan RUU PKS bukan hanya mempermasalahkan kekerasan seksual yang sudah masuk kategori darurat. DPR justru mengaitkannya dengan isu seks dan hubungan sesama jenis.

Anggota Komisi VIII dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera Iqbal Romzi, misalnya. Pada rapat 23 Januari 2018, dia mempertanyakan pidana terhadap kekerasan seksual berupa perkosaan dalam perkawinan. Ia mengaitkannya dengan dalil agama bahwa istri wajib melayani suami.

Pendapat lainnya, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB Marwan Dasopang pernah mengaitkan RUU ini dengan homoseksual.

"Yang dikhawatirkan adalah judul dan definisi menjadi liberal atau membolehkan pintu masuk LGBT," kata Marwan, 19 September 2019.

Padahal Komnas Perempuan telah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual. Pada 2017, tercatat ada 392.610 kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah itu bertambah 16,5 persen di tahun 2018 menjadi 406.178. Lalu semakin naik di 2019 hingga mencapai 431.471 kasus.

Di akhir periode 2014-2019, RUU PKS masuk dalam daftar "RUU kontroversial" yang disoroti publik. Bahkan pada September 2019, RUU itu termasuk yang memicu aksi besar-besaran di berbagai wilayah Indonesia.

Ketua DPR RI saat itu, Bambang Soesatyo, sempat berjanji mengesahkan RUU PKS sebelum berganti periode. Namun nyatanya RUU itu belum disahkan dan dioper ke periode 2019-2024. Bamsoet sudah tidak lagi menjadi Ketua DPR.

Periode ini, Komisi VIII kembali ditunjuk sebagai pembahas RUU PKS. Namun sejak dilantik, Komisi VIII belum pernah sama sekali membahas draf aturan tersebut.

Lalu saat Baleg DPR RI menggelar evaluasi Prolegnas Prioritas Tahun 2020, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang mengajukan pencabutan RUU PKS.

"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pembahasannya agak sulit, kami menarik dan sekaligus kami mengusulkan ada yang baru, yaitu RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia," kata Marwan dalam rapat yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (30/6).

Pernyataan Marwan memicu kritik dari publik. Komisi VIII dinilai tidak punya niat untuk mengesahkan RUU PKS sama sekali.

Namun anggapan itu dibantah Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily. Dia mengatakan Komisi VIII tidak mencabut RUU PKS. Mereka hanya akan menyerahkan pembahasannya ke Badan Legislasi (Baleg), sesuai permintaan kalangan aktivis perempuan.

Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas memastikan pihaknya akan melanjutkan pembahasan. Namun ia mengatakan Baleg baru bisa mengambil alih RUU PKS tahun depan.

"Saya berikan jaminan bahwa kan Oktober kan disahkan prolegnas baru, kalau Komisi VIII tetap tarik, maka Baleg yang akan usulkan RUU PKS," kata Supratman saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (1/7).

(dhf/bmw/sur)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER