Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah membuka sendiri wacana kocok ulang atau reshuffle secara lugas tersurat dalam rapat kabinet yang digelar 18 Juni lalu.
Kala itu, Jokowi menyatakan kekecewaannya terhadap kinerja para menteri Kabinet Indonesia Maju. Ia menilai kinerja para menteri biasa-biasa saja, padahal saat ini Indonesia tengah menghadapi pandemi virus corona (Covid-19).
"Bisa saja membubarkan lembaga, bisa saja reshuffle, sudah kepikiran ke mana-mana saya. Entah buat Perppu yang lebih penting lagi, kalau memang diperlukan," kata Jokowi saat itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum cukup, Jokowi kembali menyentil kinerja para menteri dalam rapat terbatas soal serapan anggaran pada 7 Juli lalu.
Dalam kesempatan itu, Jokowi menyindir para menteri yang terlihat seperti menjalani cuti saat Work from Home (WFH) atau kerja dari rumah selama tiga bulan terakhir.
"Saya minta kita miliki sense of crisis yang sama. Jangan sampai tiga bulan lalu kita sampaikan kerja dari rumah, work from home, yang saya lihat ini kayak cuti malahan," ujar Jokowi.
Dua kali sudah Jokowi secara lugas tersurat menegur para pembantunya, namun sampai saat ini belum terlihat langkah lanjutan dari sang kepala pemerintahan itu ihwal ancaman reshuffle.
Menyikapi itu, Pengamat politik sekaligus peneliti Indonesian Public Institute Karyono Wibowo mengatakan langkah reshuffle yang dilakukan Jokowi sebenarnya hanya menunggu waktu saja.
Apalagi, saat ini Kabinet Indonesia Maju baru bekerja selama sembilan bulan. Biasanya atau idealnya, kata Karyono, reshuffle akan dilakukan saat sudah satu tahun bekerja.
Meskipun, keputusan reshuffle memang merupakan bagian dari hak prerogatif Jokowi sebagai seorang presiden, Karyono melihat ada faktor lain juga untuk 'pemukulan gong'-nya.
"Masih ada tarik menarik [kepentingan] soal reshuffle, tetapi saya yakin bahwa presiden Jokowi akan melalukan reshuffle. Ini persoalan waktu saja," ucap Karyono saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (9/7).
Dalam melakukan reshuffle, tentunya ada berbagai hal yang dipertimbangkan Jokowi. Karyono pun mewanti-wanti agar jangan sampai reshuffle yang dilakukan Jokowi justru mengakibatkan gejolak politik yang bisa menimbulkan instabilitas.
"Mempertimbangkan aspek politik. Dalam hal ini tentu mempertimbangkan masukan dari partai politik, meskipun presiden punya hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri," tuturnya.
Karyono menuturkan kepentingan partai politik tidak bisa begitu saja diindahkan dalam proses reshuffle. Kendati demikian, lanjutnya, Jokowi pun diminta untuk tak asal terima begitu saja masukan dari parpol-parpol pendukungnya.
"Presiden jangan terima cek kosong, harus memberikan persyaratan, boleh dari parpol tapi kualitasnya seperti ini, itu jalan tengahnya," ucap Karyono.
![]() |
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno menilai ancaman reshuffle yang disampaikan dalam rapat kabinet, menjadi cara Jokowi untuk menghitung waktu yang tepat dalam melakukan perombakan.
"Sebagai timing untuk melihat apakah kinerja menterinya bisa maksimal atau tidak, kalau sudah tidak bisa maksimal, tak ada ampun bagi mereka," katanya.
Dari sisi politik, kata Adi, isu reshuffle tentu akan menjadi bahan perbincangan oleh para partai koalisi.
Namun, menurut Adi, sebenarnya Jokowi bisa mengondisikan para partai koalisi dengan catatan tak mengurangi jatah kursi.
"Parpol sebenarnya bisa dikondisikan oleh presiden dengan satu catatan tdak mengurangi jatah dan jumlah menteri mereka, kalau ini kan untuk meminimalisir kegaduhan-kegaduhan aja," ucap Adi.
"Untuk meminimalisir risiko supaya presiden tidak terlampau dibebani oleh efek politiknya," pendapatnya soal wacana reshuffle menteri oleh Jokowi.