Sejumlah mahasiswa Papua yang tergabung dalam Komite Aksi Penolakan Otsus berunjuk rasa menolak penerapan Otonomi Khusus (Otsus), di depan Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Selasa (14/7). Mereka menilai kebijakan itu bukan kebutuhan warga Bumi Cendrawasih.
Koordinator Lapangan Komite Aksi Penilakan Otsus, Eto Rumpaday, mengatakan aksi damai ini menolak rencana Pemerintah Indonesia memperpanjang status otonomi khusus Papua yang akan habis pasa tahun 2021.
"Aksi kami adalah aksi damai. Kami menolak otsus jilid kedua. Kami sebagai penyambung lidah masyarakat Papua, kami tidak meminta otsus jilid kedua, itu adalah pemberian Jakarta," kata Eto lewat pesan suara yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (14/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Komite juga mengutuk keras elite politik yang mengatasnamakan rakyat Papua dalam mendukung otsus. Komite juga mendesak pemerintah membebaskan seluruh tahanan politik Papua.
Para mahasiawa Papua itu juga meminta penghentian segala bentuk diskriminasi dan rasisme terhadap Papua. Mereka mendorong pembukaan akses yang luas bagi jurnalis asing meliput di Tanah Papua.
Mereka pun menuntut pencabutan surat keputusan dropout bagi empat mahasiswa Unhair Ternate. Komite juga menyatakan penolakan terhadap hasil Pepera 1969 yang mereka nilai tak demokratis.
![]() |
Komite menuntut Pemerintah Indonesia menarik militer, baik organik maupun non-organik, dari Papua. Para mahasiswa pun menuntut referendum untuk Papua.
"Kami mengutuk keras, kami rakyat Papua menolak otsus jilid dua. Kami meminta referendum, harga mati," tandas Eto.
Aksi digelar serentak di sejumlah daerah, yakni Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Makassar, dan Ternate. Di DKI Jakarta, aksi digelar di Kemendagri karena massa hendak menemui perwakilan pemerintah.
Otsus untuk Papua diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Dalam UU itu, otsus untuk Papua dan Papua Barat bakal habis pada 2021.
Hingga 2019, Pemerintah telah mengucurkan sekitar Rp83,36 triliun untuk dana otsus Papua serta Papua Barat. Namun menjelang akhir masa otsus, Kemendagri pernah berencana mengkaji pelaksanaanya.
"Kami katakan hasil kajian kami bersama teman-teman Lemhanas, Wantannas, dan beberapa NGO, bahwasanya seperti arahan bapak Menteri, dana otsus kita akan lanjutkan," kata Dirjen Otda Kemendagri Akmal Malik di Kantor Kemendagri, Jakarta, 25 September 2019.
![]() |
Uang Melulu
Terkait Otsus, Direktur Walhi Papua Aiesh Rumbekwan menilai pemerintah Jokowi mengeluarkan kebijakan yang tidak didasarkan atas kebutuhan masyarakat asli Papua, sekaligus mereduksi kewenangan daerah dalam UU Otonomi Khusus.
"Walau terlihat melanggar, namun pelaksanaan pemerintah pusat ini terus digenjot pelaksanaannya dengan pandangan akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat Papua. Pandangan ini memberi makna, seakan masyarakat adat Papua tidak mampu atau bodoh," ujarnya, kepada CNNIndonesia.com, Minggu (15/9/2019).
Padahal, katanya, kebutuhan warga Papua adalah soal akses kepada sumber daya alam, penyelesaian kasus pelanggaran HAM, penyetopan industri ekstraktif di Bumi Cendrawasih, dan perampasan tanah warga asli, bukan melulu soal uang.
"Argumentasi pemerintah selalu bertumpu pada soal keuangan (Dana Otsus) yang diberikan ke pemerintah provinsi Papua. Sementara pengelolaan sumber daya alam tidak diberi ruang bagi rakyat Papua dan cenderung terjadi perampasan," ujar Aiesh.
"Menegaskan bahwa negara segera hadir menyelesaikan persoalan HAM di tanah Papua, termasuk memberi akses kelola sumber daya alam (hutan), kepada masyarakat," imbuhnya.
Pemerintah pun, kata Aiesh, mesti mendengarkan warga asli Papua, bukan orang atau kelompok-kelompok yang mengatasnamakan orang Papua tanpa kesepakatan masyarakat itu sendiri.
"Bahwa pemerintah pusat segera menghentikan untuk menerima kepentingan kelompok atau individu-individu tertentu tanpa melalui kesepakatan Orang Asli Papua dan pemerintah daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, DPRP dan DPRPB, serta MRP dan MRPB," ujarnya.
(dhf/arh)