Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengklaim istilah-istilah baru terkait pandemi Covid-19 tak mengubah prosedur identifikasi kasus Virus Corona.
"Secara prinsip dan mendasar tidak ada perubahan dalam kaitan identifikasi kasus ini, tetap menggunakan basis diagnosa pemeriksaan menggunakan RT-PCR (real time polymerase chain reaction) atau TCM (tes cepat molekular). Sekali lagi ini berbasis pemeriksaan antigen bukan antibodi," jelas dia, di Graha BNPB, Jakarta, Selasa (14/7).
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto diketahui telah menghapus istilah pasien dalam pengawasan (PDP), orang dalam pemantauan (ODP), dan orang tanpa gejala (OTG) dalam kasus virus corona (Covid-19).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal dal itu tertuang dalam Kepmenkes HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease yang diteken Terawan pada Senin (13/7).
Yurianto menjelaskan, dalam Kepmenkes tersebut dikenal tiga istilah kasus suspek. Kriteria kasus suspek pertama, yaitu orang dengan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan memiliki riwayat bepergian ke daerah dengan transmisi lokal.
Kemudian kriteria kasus suspek kedua, adalah orang yang pernah yang dalam waktu 14 hari terakhir kontak dengan kasus positif atau kasus probable melakukan kontak dekat kurang dari 1 meter dan dalam jangka waktu lebih dari setengah jam.
![]() |
Orang dengan infeksi nafas berat dan harus mendapat perawatan di rumah sakit serta tidak ditemukan penyebab sakitnya, dan dicurigai sebagai pasien Covid-19 juga masuk dalam kriteria kasus suspek.
"Kalau kita lihat dalam revisi Kepmenkes sebelumnya, maka semua PDP adalah suspek, bahkan kasus PDP ada keluhan ISPA, itu pun masuk kasus supek," kata Yurianto.
Istilah selanjutnya adalah kasus probable. Yurianto menjelaskan, kasus probable adalah orang dengan saluran pernafasan berat (ARDS) yang kemudian meninggal.
Secara klinis pasien tersebut meyakinkan sebagai pasien Covid-19 namun belum terkonfirmasi positif lewat RT-PCR, untuk menegakan diagnosa, dokter bisa melakukan pemeriksaan lewat rontgen paru, atau pemeriksaan lab darah.
"Kasus probable ini klinis kita yakini Covid-19, dengan gejala ARDS atau ISPA berat, namun belum pemeriksaan lab untuk menegakkan diagnosa covid," kata Yurianto.
Kemudian istilah kontak erat, artinya orang yang melakukan kontak dengan kasus positif atau kasus probable.
![]() |
Istilah lainnya yang disebut Yuri adalah kasus konfirmasi. Istilah ini ditujukan kepada orang yang sudah melalui pemeriksaan RT-PCR dan hasil positif.
"Pada kasus konfirmasi bisa dengan gejala (simptomatis) atau kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatis)," ujarnya.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2P) Kemenkes itu juga mengatakan pihaknya akan menggunakan basis perhitungan sesuai dengan istilah yang baru dengan segera.
"Basis perhitungan ini yang akan kita gunakan mulai hari ini dalam melakukan pelaporan terkait data Covid-19," pungkasnya.
Lihat juga:WHO Desak Indonesia Gelar Tes PCR untuk OTG |
Pakar kesehatan masyarakat Hermawan Saputra menilai pengubahan istilah bisa memicu masalah terhadap analisis data kasus Covid-19. Mengubah tiga istilah tersebut, katanya, berarti melakukan pembaruan dalam kategorisasi data. Sementara, pembaruan data butuh waktu tak singkat.
"Ini berkaitan dengan manajemen data, ada potensi data yang digunakan lima bulan terakhir ini melalui istilah ODP, PDP dan OTG yang tidak lagi ke depan, bagaimana kategorisasi datanya? Nah ini akan menimbulkan problem dalam analisis dashboard data," kata dia, Selasa (14/7).
"Bagaimana kategorisasi data yang baru? apa [data yang lama] diputihkan atau dikategorisasi kembali? pengkategorisasian datanya ini bagaimana?" lanjutnya.
(mel/arh)