Kuasa Hukum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Rusdianto Matulatawa menilai putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak gugatan uji materi kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebagai hal yang ganjil.
Pasalnya, substansi, argumentasi, materi, hingga mayoritas hakimnya masih sama dengan uji materi terhadap iuran BPJS Kesehatan jilid I.
"Kami melihat putusan itu sedikit ganjil meskipun legitimate, ini kan substansinya sama, materinya sama, kendala sama, dua hakim yang sama, artinya bahwa kami berpandangan bahwa jilid I dan jilid II ini hanya berbeda dari selera dalam mengambil suatu pertimbangan," kata Rusdianto kepada CNNIndoensia.com, Selasa (11/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rusdianto menyebut penggugat mengajukan argumen yang sama pada uji materi jilid I dan jilid II, yakni faktor kelesuan ekonomi.
"Di jilid pertama juga kami bicara soal kelesuan ekonomi, sekarang ini dengan Covid-19 tentu ekonomi sudah bukan lesu tapi 'terjun bebas'. Apa argumen MA yang bisa mengeliminir tentang faktor ekonomi yang mencekik? Kami belum dapat [salinan putusannya]," jelas dia.
Diketahui, di penghujung 2019 Presiden Jokowi menaikkan iuran BPJS Kesehatan. KPCDI kemudian menggugat Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran itu lewat uji materi ke MA. Pada 27 Februari, MA mengabulkan sebagian permohonan ini.
Pada gugatan pertama ini, duduk sebagai ketua majelis hakim Supandi, dengan anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi.
![]() |
Namun, Presiden mengeluarkan lagi Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang intinya mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan lagi. KPCDI kemudian kembali melakukan uji materi Perpres ke MA.
Perkara dengan nomor register 39 P/HUM/2020 itu kemudian ditolak MA, pada 6 Agustus 2020. Duduk sebagai ketua majelis hakim Supandi dengan anggota Yodi Martono Wahyunadi serta Is Sudaryono.
Lebih lanjut, Rusdianto mengaku pihaknya akan mengambil langkah hukum baru terkait gugatan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, yakni uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia mengakui putusan MA bersifat final dan mengikat.
"Kami perlu memikirkan kembali reformulasinya, jalan satu-satunya yang bisa kami tempuh melalui Mahkamah Konstitusi, tapi kami masih menunggu pertimbangan hakim secara lengkap," ucapnya.
Dihubungi terpisah, Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro belum merespons panggilan telepon maupun pesan singkat yang dilayangkan CNNIndonesia.com.
MA sendiri belum mengunggah secara lengkap putusan yang memuat pertimbangan hakim dalam perkara itu.
Memberatkan
Terpisah, Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir mengatakan putusan MA itu memberatkan pasien cuci darah di tengah pandemi Covid-19, terutama bagi mereka yang tidak masuk dalam kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI).
![]() |
"Di tengah pandemi Covid-19 dan menurunnya daya beli masyarakat, keputusan MA tersebut tentu sangat mengecewakan. Kami sebagai pasien cuci darah, terutama yang kurang mampu tetapi tidak masuk dalam kategori PBI, tentu akan merasakan dampaknya. Apalagi," ujar dia, melalui keterangan tertulis, Selasa (11/8).
Tony juga mengingatkan kenaikan biaya iuran BPJS Kesehatan dapat mengakibatkan kartu BPJS Kesehatan yang tidak aktif karena peserta tidak mampu membayar iuran bulanan. Jika terjadi demikian, bukan tidak mungkin BPJS akan mengalami gagal bayar.
Bila terjadi, kondisi tersebut akan memberatkan pasien yang rentan tertular Covid-19 dengan penyakit bawaan (komorbid). Pasien terpaksa harus membayar sendiri proses cuci darah dan pengobatan lainnya.
"Bila gagal bayar iuran BPJS Kesehatan, akan berakibat pada pasien kronis atau pasien gagal ginjal yang kurang mampu, mereka akan menghentikan terapi tersebut. Sudah dua nyawa melayang," kata Tony.
Lebih lanjut, Tony mengatakan akan terus melakukan berbagai langkah untuk mendesak pasien cuci darah agar masuk dalam kategori PBI. KPCDI juga akan menyerukan peningkatan kualitas pelayanan BPJS Kesehatan ke Komisi IX DPR RI.
"Kami akan menagih janji Komisi IX DPR RI yang menjanjikan akan mendesak Kementerian Sosial untuk memasukkan pasien cuci darah dalam kategori PBI, karena pasien dianggap sudah tidak produktif dan rentan PHK karena sakit," katanya.
(mel/arh)