Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menilai penggunaan Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk menjerat Gilang Aprilian Nugraha (22) tidak tepat.
Bahkan, Direktur LBH Surabaya, Abd Wachid Habibullah menyebut penggunaan pasal itu aneh. Menurutnya, tindakan Mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu jelas masuk ranah dugaan tindak pelecehan seksual.
"Memang aneh kalau pakai UU ITE karena perbuatannya jelas pelecehan seksual," kata Wachid, saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Selasa (11/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wachid mengatakan ada sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sebenarnya bisa menjerat pelaku pelecehan seksual.
"Terkait pasal di KUHP ada pasal 294 KUHP dan 289 KUHP terkait perbuatan cabul dan menyerang kesusilaan," katanya.
Pasal 289 KUHP itu berbunyi: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan kepada seseorang melakukan perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan, dengan hukuman penjara selama sembilan tahun.
Menurut Wachid, Gilang bisa dijerat dua pasal tersebut. Lantaran korban tak dijelaskan usia dan berjenis kelamin apa. Maka korban bisa siapa saja, apapun jenis kelamin dan berpapun usianya.
"Sebenarnya bisa dipakai karena di situ tidak dijelaskan korbannya perempuan jadi laki-laki bisa. Maka korban bisa siapapun," kata dia.
Tak hanya itu, Wachid juga menilai penyidik mestinya mau menelusuri lebih jauh soal dugaan apakah korban Gilang ada yang berusia di bawah umur. Sebab, sebagaimana diketahui kejahatan ini diakui Gilang sudah dilakukannya sejak 2015 silam.
"Atau yang kedua kalau misalnya penyidik bisa menemukan salah satu korban yang masih di bawah umur maka bisa dipakai UU Perlindungan Anak," ujarnya.
Ia menambahkan, dengan sejumlah alat bukti yang ada, penyidik harusnya sudah bisa menjerat gilang dengan pasal asusila. Bukti visum pun tak dibutuhkan, dan bisa diganti dengan hasil pemeriksaan psikologis korban.
"Tidak perlu visum tapi bukti hasil pemeriksaan psikologis korban sudah cukup," katanya.
Selain itu, menurut Wachid, dengan maraknya kasus pelecehan seksual belakangan, maka pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) adalah hal yang penting untuk didorong oleh publik.
"Pentingnya mendorong RUU PKS disahkan, karena dengan UU saat ini berbagai macam perbuatan kekerasan seksual online atau yang korbannya laki-laki terjadi. Karena laki-laki juga berpotensi menjadi korban kekerasan seksual," pungkasnya.
Gilang terduga pelaku pelecehan seksual 'bungkus kain jarik', telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun pasal yang disangkakan padanya tak berkaitan dengan tindak asusila.
Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Johnny Eddizon Isir mengatakan, Gilang saat ini disangkakan Pasal 27 ayat (4) Jo Pasal 45 ayat (4) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU 11 nomor tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dan atau Pasal 29 Jo Pasal 45B UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Dan atau perbuatan tidak menyenangkan Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.
"Ini diarahkan kepada dugaan tindakan tersangka yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan pengancaman, ancaman hukuman 6 tahun penjara," kata Isir, di Mapolrestabes Surabaya, Sabtu (8/8).
Pasal ITE itu disangkakan pada Gilang lantaran pihaknya belum menemukan bukti-bukti atau unsur dari perbuatan tersangka yang mengarah pada dugaan pelecehan seksual atau kesusilaan, sebagaimana termaktub dalam beberapa pasal dalam KUHP.