Ravio Patra baru saja keluar rumah untuk mengevakuasi diri ke tempat yang lebih aman, Rabu (22/4) malam. Aktivis pro demokrasi itu khawatir akan keselamatan dirinya setelah akun WhatsApp diretas pada hari yang sama.
Namun baru menginjak trotoar Jalan Blora kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Ravio disergap mobil Avanza. Empat orang laki-laki berpakaian biasa meneriaki namanya. Dia ditangkap orang-orang yang mengaku polisi.
Sebagai peneliti kebijakan publik, Ravio tahu apa yang menjadi haknya. Dia sempat meminta bukti identitas maupun surat tugas, namun tak pernah ditunjukkan. Begitupun surat perintah penangkapan, juga tak pernah diberikan. Alasannya, mereka akan menjelaskan di kantor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya juga sempat ditodong senjata api oleh salah satu laki-laki tersebut karena terus mendebat mereka," ujar Ravio kepada CNNIndonesia.com, Kamis (6/8).
Setelah 20 menit ribut di trotoar, Ravio digeret masuk ke mobil. Maskernya putus, sepatunya lepas sebelah. Dia terimpit di bangku belakang mobil.
Mereka meminta paksa ponsel dan laptop di tas. Ravio menolak dan meminta surat penyitaan lebih dahulu. Namun dia akhirnya memberikan karena cemas akan keselamatan dirinya.
Ravio juga diminta membuka kunci sandi, pengaman sidik jari, serta pengaman iris (scan mata). Awalnya menolak tapi akhirnya diberikan.
"Saya tidak punya pilihan juga karena sendirian dan ketakutan. Jadi terpaksa kasih," kata Ravio.
Sekitar pukul 21.00 WIB, Ravio tiba di Unit Kejahatan dengan Kekerasan (Jatanras) Polda Metro Jaya. Keluarganya tak mendapat pemberitahuan. Penasihat hukum juga tidak ada.
"Saya puluhan kali meminta hak saya menghubungi keluarga/penasihat hukum dan tidak pernah diberikan sekalipun," ujarnya.
![]() |
Selama 20 jam Ravio ditahan dan dipaksa menjalani proses pemeriksaan tanpa penasihat hukum. Pendampingan hukum akhirnya diperoleh setelah pengacara mendapat kabar penangkapan dan gigih berkeliling Polda Metro Jaya untuk mencarinya.
Saat pemeriksaan, Ravio menyatakan bahwa akun WhatsApp miliknya diretas. Namun polisi dari Unit Keamanan Negara yang menginterogasinya berkeras bahwa WhatsApp tak mungkin diretas karena sudah end-to-end encryption.
Selama akun WhatsApp dikuasai peretas, pelaku menyebarkan pesan bernada provokasi.
"Krisis sudah saatnya membakar! Ayo kumpul dan ramaikan 30 April aksi penjarahan nasional serentak semua toko yang ada di dekat kita bebas dijarah," demikian bunyi pesan itu.
Ravio menyatakan tidak tahu-menahu tentang pesan yang dikirimkan melalui ponselnya selama akun WhatsApp diretas. Polisi justru menuduh dirinya bagian 'jaringan tertentu' dan berbohong.
"Saya berulang kali menolak di-BAP tanpa pengacara, namun diintimidasi, 'Kalau begitu kami terpaksa lapor ke atasan, kamu enggak kooperatif' sehingga terpaksa menjawab sejumlah pertanyaan tanpa didampingi pengacara," tutur Ravio.
Sebelum diinterogasi, Ravio dibawa ke indekosnya pada tengah malam untuk penggeledahan. Kamarnya diobrak-abrik, buku-bukunya disita tanpa surat sita.
Ravio baru dibebaskan pada Jumat (24/4). Saat itu statusnya sebagai saksi, meski sebelumnya sempat dinyatakan tersangka penyebaran ujaran kebencian oleh kepolisian.
Penangkapan Ravio tidak terjadi begitu saja. Dalam kurun tiga tahun terakhir, Ravio bekerja sebagai peneliti di Open Government Partnership. Sebagai pegiat demokrasi, dia kerap mengkritik kebijakan pemerintah lewat akun media sosialnya.
"Ada hal-hal lain yang saya tahu persis mendorong terjadinya peretasan, penjebakan, dan penculikan terhadap saya," ujar Ravio.
![]() |
Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus mencatat, Ravio sempat mengkritik Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar yang diduga kuat terlibat konflik kepentingan dalam proyek-proyek pemerintah di Papua.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus saat itu mengatakan Ravio ditangkap oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
"Diduga menyiarkan berita onar dan atau menghasut untuk membuat kekerasan atau menyebarkan kebencian," ujarnya.
Sebelum penangkapan, Ravio memberikan kabar pada Direktur Eksekutif Safenet Damar Juniarto perihal kejanggalan akun Whatsapp-nya. Ia menduga ada peretasan.
Saat Ravio menghidupkan aplikasi WhatsApp, muncul notifikasi: You've registered your number on another phone. Dicek ke pesan inbox SMS, ada permintaan pengiriman one time password (OTP).
"Peristiwa ini saya minta segera dilaporkan ke Whatsapp, dan akhirnya oleh Head of Security Whatsapp dikatakan memang terbukti ada pembobolan," tutur Damar April lalu.
Dua jam kemudian, akhirnya Whatsapp milik Ravio berhasil dipulihkan. Namun, selama Whatsapp itu dikuasi peretas, pelaku menyebarkan pesan bernada provokasi.
Damar kemudian meminta Ravio mengumpulkan semua bukti terkait peretas untuk diperiksa lebih lanjut.
Ravio kemudian menghubungi dirinya dan mengatakan bahwa ada yang mencarinya.
"Saya instruksikan Ravio untuk matikan handphone dan cabut baterai, lalu pergi ke rumah aman. Sudah lebih dari 12 jam tidak ada kabar, baru saya dapat informasi Ravio ditangkap semalam oleh intel polisi di depan rumah aman," kata Damar.
Ravio sendiri sempat memberi informasi melalui akun Twitter @raviopatra bahwa WhatsApp miliknya telah diretas dan dikendalikan oleh orang lain.
Ia meminta agar tidak ada yang mengontaknya dan tidak menanggapi pesan yang datang dari nomornya, serta meminta agar akunnya dikeluarkan dari berbagai WhatsApp Group.
Ravio sempat berkomunikasi dengan pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) untuk meminta nasihat hukum. Selain itu, Ravio juga menghubungi Komisioner Komnas HAM untuk meminta bantuan jika terjadi sesuatu dalam waktu dekat.
Karena informasi awal yang diberikan Ravio ini, usai ia ditangkap, anggota Koalisi Masyarakat Sipil kemudian mendatangi Polda Metro Jaya untuk mencari tahu keberadaannya dan memberikan pendampingan. Ravio kemudian dilepas. Polisi menyebutnya hanya menjadi saksi.
Kejadian yang dialami Ravio bisa menimpa warga lainnya yang lantang mengkritisi pemerintah. Namun penangkapan Ravio menjadi pelajaran.
Pakar Hukum Pidana Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) Hibnu Nugroho mengatakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi pedoman bagi warga yang tersangkut kasus hukum maupun penegak hukum itu sendiri.
Pada Pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Kemudian, Pasal 18 diatur bahwa penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan.
Hibnu mengatakan apabila polisi yang menangkap tidak dapat menunjukkan surat tugas atau surat penangkapan, maka tersangka berhak menolak penangkapan tersebut.
"Tidak boleh penegak hukum melakukan upaya paksa tanpa dilindungi surat penangkapannya, surat penahanannya, kecuali tertangkap tangan, sehingga kalau tidak (ada surat) melanggar HAM. Berpotensi di-praperadilan-kan," tutur Hibnu.
Selain itu, Pasal 19 juga dijelaskan bahwa penangkapan dapat dilakukan paling lama satu hari. Hibnu menjelaskan, jika tersangka tidak dibebaskan dalam waktu satu hari, maka penahanan tersebut tidak sah.
Guna kepentingan pembelaan, tersangka yang ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum sesuai Pasal 54. Pasal berikutnya menyebutkan tersangka juga berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
Hibnu menjelaskan, orang yang ditahan juga bisa menolak pemeriksaan (BAP) jika tidak didampingi oleh penasihat hukum.
Dia mengingatkan agar warga tetap menyampaikan kritik dengan bertanggung jawab. Di era keterbukaan dan kebebasan informasi ini, menurutnya, masih banyak warga yang salah kaprah memaknai kritik. Bahkan sulit membedakan kritik dan pencemaran nama baik.
Di sisi lain, pejabat publik atau pemerintah juga harus siap menerima kritik dan saran. Sebab kritik merupakan konsekuensi dari jabatan publik.
Penegak hukum, menurutnya juga harus berhati-hati dan mampu membedakan kritik dan pencemaran nama baik. Polisi juga perlu memilah sejumlah laporan yang masuk terkait kasus-kasus dugaan pencemaran nama baik.
"Sekarang, enggak senang aja lapor. Penegak hukum juga harus me-review internalnya, apakah ini masuk kritik atau tidak. Ini saya kira secara tepat harus diantisipasi," kata Hibnu.
![]() |
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar menyatakan bahwa publik seharusnya tidak perlu takut menyampaikan kritik atau menyuarakan kebenaran. Namun demikian, kata Haris, warga juga harus memahami isi kritik agar tidak terjerat kasus hukum.
"(Warga harus) percaya dan yakin pada prinsip bahwa warga harus berpartisipasi, kritik itu sah. Jangan takut untuk kritik," tutur Haris.
Menurutnya, warga tak perlu mengetahui seluk beluk mengenai hukum hanya untuk menyampaikan kritik. Partisipasi warga melalui kritik dan pengawasan dibutuhkan dalam jalannya pemerintahan itu sendiri.
"Karena partisipasi adalah alamiah. Dia bukan sekedar hak karena demokrasi, tapi juga alamiah semata-mata karena ia manusia. Manusia nalurinya interaktif, komunikatif, berpikir hingga bisa menemukan keanehan dan protes/berteriak jika ada kesalahan atau kesakitan," kata Haris.
(dmi/pmg)