Muhammad Hisbun Payu terkejut saat belasan aparat dari Polda Jawa Tengah mendatangi indekosnya di Solo, Jumat (13/3) tengah hari. Ia tak sempat menyelesaikan urusan di kamar mandi karena dipaksa segera masuk mobil untuk dibawa ke Semarang.
Di dalam mobil, Iss, sapaan akrabnya, makin bertambah bingung. Pikirannya melayang jauh mengingat-ingat perbuatan apa yang dilakukannya hingga membuat aparat menggerebek tanpa ba-bi-bu.
Hari itu untuk kesekian kalinya, pria 25 tahun ini berurusan dengan polisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat aku di-BAP (berita acara pemeriksaan), aku baru tahu, penangkapan itu berkaitan dengan posting-an soal Jokowi," kata Iss kepada CNNIndonesia.com, Selasa (4/8).
Dua bulan sebelumnya, Iss mengunggah ulang gambar tangkapan layar di story Instagram. Unggahan itu berbunyi "Apa dosa rakyat Indonesia punya presiden laknat kayak Jokowi ini".
Unggahan itu merespons status Twitter milik Presiden Jokowi pada 15 Januari 2020. Bunyinya, "Sebaik-baik komitmen investasi adalah yang terealisasi. Penyebab tidak berbuahnya komitmen investasi itu bisa oleh hal-hal seperti urusan pembebasan tanah yang tak kunjung selesai dan sulitnya perizinan. Untuk itu, saya selalu berpesan agar investor dilayani dengan baik."
"Waktu itu kan, memang lagi heboh-heboh soal Omnibus Law dan kemudian disusul dengan adanya penggusuran di Tamansari. Posting-an itu yang kemudian jadi dalih menjerat aku," kata dia.
Atas unggahannya, Iss dituduh melanggar Pasal 45A Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Saat pemeriksaan, Iss juga baru tahu statusnya sebagai tersangka atas laporan polisi yang dibuat oleh temannya pada 19 Januari lalu.
"21 Januari ternyata aku sempat digerebek juga di salah satu kos. Tapi posisi aku waktu itu pindah kos. Mereka salah kos," ujarnya.
Iss merasa penangkapan dan penetapannya sebagai tersangka cukup janggal. Ia tidak pernah didengar keterangannya sebagai saksi terlebih dahulu.
"Yang jadi persoalan ketika aku ditangkap, sebelumnya sama sekali enggak ada surat panggilan untuk klarifikasi dan lain lain," kata dia.
![]() |
Sejak penangkapan itu, Iss langsung ditahan sembilan hari. Ia mengajukan penangguhan penahanan sejak 21 Maret hingga sekarang.
Pengalaman ditahan itu bukan yang pertama baginya. Pada 2018, Iss sempat dipenjara 18 bulan setelah divonis bersalah merusak fasilitas dalam aksi menentang pencemaran lingkungan oleh sebuah pabrik di Sukoharjo.
Pendamping Iss dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Eti Oktaviani mengatakan sejak ditangguhkan penahanan, Iss belum pernah dipanggil lagi oleh polisi.
"Belum ada panggilan atau tindakan atau upaya lain dari kepolisian, apakah kasus ini dilanjut atau enggak. Tapi kalau berbicara status hukum Iss, dia masih berstatus tersangka," kata Eti saat dihubungi, Selasa (4/8).
Soal kritik di media sosial, bukan hanya Iss yang pernah ditangkap dan jadi tersangka. Cerita lain datang dari jurnalis sekaligus pendiri rumah produksi Watchdoc, Dandhy Dwi Laksono.
Kamis 26 September 2019, sekitar pukul 23.00 WIB, Dandhy dijemput beberapa aparat dari Polda Metro Jaya di kediamannya wilayah Jakarta Timur.
Saat itu, beberapa orang petugas membawa surat penangkapan terhadap Dandhy dengan status tersangka.
"Mereka mengikuti semua prosedur, ada surat tugas, terus menunjukkan identitas anggota. Menghubungi RT dan segala macam. Secara prosedur tidak ada yang janggal," kata Dandhy kepada CNNIndonesia.com, Selasa (4/8).
Yang janggal, menurutnya, justru substansi hukum dari penangkapan itu. Dandhy dituduh menyebarkan kebencian seperti yang diatur dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Cuitan Dandhy di akun Twitter miliknya tentang Papua dianggap polisi mengandung ujaran kebencian dan isu SARA.
Dalam unggahannya, Dandhy menampilkan foto kondisi mahasiswa Papua yang terluka dan tewas. Korban tersebut merupakan bagian mahasiswa Papua yang eksodus dari kampus-kampus di Indonesia.
Dandhy menyebut para mahasiswa diangkut dari posko Universitas Cenderawasih ke Expo Waena.
"Rusuh. Ada yang tewas," tulis Dandhy di akun Twitternya.
![]() |
Saat diperiksa, Dandhy menyebut polisi berusaha fokus pada cuitan yang memuat dua foto serta keterangan terkait kekerasan itu.
Padahal, Dandhy menyampaikan lima cuitan dan saling berkaitan satu sama lain. Sementara, foto kedua menampilkan pelajar SMA yang meringis kesakitan. Dandhy menulis keterangan pada foto itu bahwa para siswa SMA yang memprotes sikap rasis para guru harus berhadapan dengan aparat dan berujung rusuh di Wamena.
"Patokan mereka hanya tweet pertama. Padahal ada 5 tweet dalam rangkaian thread saya. Terjadi perdebatan di situ," kata dia.
Dandhy bilang, saat itu laporan polisi terhadapnya termasuk tipe A, yakni pelaporan kasus yang dilakukan oleh anggota Kepolisian.
Setelah diperiksa selama beberapa jam, Dandhy akhirnya diizinkan pulang. Namun status tersangka tetap terlekat padanya.
Hingga kini, Dandhy tak tahu kelanjutan kasus yang menjeratnya itu.
"Status secara hukum, ya masih tersangka. Apa maksudnya orang disandera terus dengan status hukum," kata Dandhy.
Sebagai orang yang dijerat dengan pasal di UU ITE, Iss dan Dandhy memiliki pandangan yang hampir sama terkait kebebasan berpendapat di era Jokowi.
Menurut Iss, upaya membungkam kritik saat ini sangat masif. Ruang-ruang demokrasi dinilai semakin sempit.
"UU ITE menjadi momok, melenceng dari tujuan awalnya, malah sekarang menjadi senjata negara, karena kalau dilihat banyak yang melapor dari pemerintahan," kata dia.
Sementara Dandhy berpendapat beberapa kejadian di era Pemerintahan Jokowi mirip dengan situasi pada saat Orde Baru.
"Diskusi bisa dibubarkan begitu saja, pelaku persekusinya tidak diusut. Mutar film bisa dibubarin. Opini, buku, film dilawan dengan pemidanaan atau panggilan polisi," kata dia.
Kondisi ini, menurutnya, ibarat bola salju. Dia menilai sejak awal pemerintah melakukan pembiaran dan tidak melakukan pencegahan.
"Seperti sebuah budaya baru yang mundur. Bukan hanya terkait fenomena politik atau hukum terkait UU ITE, tapi sudah menjadi wabah yang cenderung menjadi karakter yang anti-intelektual, anti-pendapat, anti-diskusi," ujar Dandhy.
(yoa/pmg)