Kejaksaan Agung tetap akan memberikan bantuan hukum kepada Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang menjadi tersangka kasus dugaan suap dari terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Setiyono menjelaskan bahwa fasilitas itu tetap diberikan lantaran Pinangki masih berstatus sebagai pegawai kejaksaan. Hanya saja, dia sedang menjalani proses hukum.
"Sebagai anggota Persatuan Jaksa Indonesia (PJI), kepada yang bersangkutan tetap diberikan haknya untuk didampingi Penasehat Hukum yang ditunjuk oleh PJI," kata Hari saat dikonfirmasi, Selasa (18/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kasus ini, Pinangki diduga menerima suap senilai Rp7 miliar dari Djoko Tjandra. Pinangki pun sempat melakukan pertemuan dengan Djoko Tjandra yang berstatus buron di Malaysia pada 2019 lalu.
Dia kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu (12/8) kemarin. Penetapan itu dilakukan usai hasil inspeksi internal terhadap Pinangki rampung dan dilimpahkan ke penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus).
"Sementara kemarin yang beredar di media maupun hasil pemeriksaan pengawasan itu kan diduga sekitar $500 ribu, kalau dirupiahkan kira-kira Rp7 miliar," kata Hari dalam konferensi pers daring, Rabu (12/8) lalu.
Pinangki saat ini sedang menjalani masa penahanan pertama di Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejagung selama 20 hari. Nantinya, Pinangki akan dipindahkan ke rutan khusus wanita Pondok Bambu.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Pinangki telah dicopot dari jabatannya selaku Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi 2 pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejagung.
Ia diduga melanggar disiplin karena bertemu dengan Djoko Tjandra di Malaysia pada 2019 lalu. Status Djoko Tjandra ketika itu adalah terpidana dan buron selama sekitar 10 tahun.
Dalam pusaran kasus pelarian Djoko Tjandra ini, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan terdapat tiga klaster kasus yang terbagi dan ditangani oleh aparat penegak hukum.
Klaster pertama kasus Djoko terjadi antara tahun 2008-2009. Saat itu, ujarnya, Djoko diduga melakukan penyalahgunaan wewenang yang diungkap dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) sebelum kemudian ia buron sehari jelang vonis dua tahun oleh Mahkamah Agung.
Kemudian, klaster kedua, terjadi pada November 2019, saat Djoko yang masih buron di Malaysia, bertemu dengan pengacaranya, Anita Dewi Anggraini Kolopaking dan seorang pegawai negeri Kejaksaan Agung, yakni Jaksa Pinangki.
Lalu klaster ketiga, lanjutnya, terkait penghapusan red notice Djoko Tjandra dan pembuatan surat jalan palsu oleh mantan Kakorwas PPNS Polri, Brigjen Prasetijo Utomo.
(mjo/osc)