Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono mengungkapkan pihaknya masih melakukan penelusuran kepada pihak-pihak yang diduga turut menerima aliran dana dalam proses penghapusan red notice atas nama Djoko Tjandra.
Salah satu pihak yang juga ditelusuri oleh Bareskrim Polri adalah Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Diketahui, penyidik hari ini, Rabu (19/8) memanggil perwakilan dari lembaga itu untuk dimintai keterangan.
"Semua bisa terjadi (aliran dana ke Ditjen Imigrasi). Tapi kembali, penyidik kan menggali, mendalami terkait pencabutan (red notice)," kata Awi kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (19/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menerangkan bahwa dalam perkara ini, penyidik menggunakan pendekatan follow the money atau menelusuri jejak uang atau harta hasil tindak pidana korupsi untuk dapat menemukan pelaku.
Dugaan awal dari penyidikan, kata Awi, proses pencabutan red notice Djoko Tjandra berawal dari Divisi Hubungan Internasional Polri yang kemudian dalam perjalanannya surat tersebut sampai ke Imigrasi. Hanya saja, dia belum mau mengungkapkan lebih jauh soal perkembangan penyidikan tersebut.
"Tentunya dari sana kami dalami. Memang persyaratan (pemeriksaan hari ini) ke Dirjen Imigrasi, tapi tergantung siapa yang diutus oleh beliau yang memiliki kompetensi dan mengetahui terkait pencabutan red notice Djoko Tjandra," jelas Awi.
Diberitakan sebelumnya, pihak Imigrasi dipanggil oleh penyidik untuk diperiksa sebagai saksi dalam peristiwa pencabutan red notice buronan kelas kakap itu.
Red notice atas nama buron Djoko Tjandra sempat terhapus selagi dirinya masih dalam pencarian oleh Kejaksaan Agung.
Belakangan kepolisian menetapkan Kepala Divisi Hubungan Internasional Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sebagai tersangka karena diduga turut menerima suap dalam kasus penghapusan terpidana Djoko Tjandra dari daftar red notice. Dia mengisi jabatan yang membawahi Sekretaris NCB Interpol Indonesia.
Napoleon dikenakan pasal 5 ayat 2, lalu pasal 11 dan 12 huruf a dan b UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Tipikor dan pasal 55 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.
(osc/osc)