Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksdya TNI Aan Kurnia mengatakan situasi di kawasan perairan Laut China Selatan saat ini masih relatif tinggi.
Situasi ini kata Aan dipicu oleh dua negara yang memang tengah berkonflik di wilayah perairan yang kini jadi sengketa itu, yakni China dan Amerika.
"Sampai saat ini situasi pada dasarnya masih pada tingkat yang relatif tinggi untuk di LCS antara China dan Amerika serta negara-negara claimant," kata Aan melalui pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Rabu (26/5).
Aan tak merinci situasi tinggi seperti apa yang terlihat di wilayah perairan itu. Yang jelas kata dia hal ini bisa diamati secara langsung lantaran kegiatan militer masih tampak di wilayah itu.
"Hal ini dapat diamati dari beberapa aktivitas latihan militer dan kegiatan FONOP (operasi navigasi bebas AS) dari armada ketujuh Amerika," kata Aan.
Laut China Selatan saat ini telah menjadi wilayah perairan rawan konflik. Hal ini terjadi setelah China secara sepihak mengklaim sebagian besar wilayah perairan yang kaya sumber daya itu.
China mengklaim memiliki perairan Laut China Selatan berdasarkan pada klaim historis negaranya. Namun hal ini justru bertabrakan dengan wilayah kedaulatan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, hingga Brunei yang memiliki kedaulatan di wilayah itu sesuai dengan hukum laut PBB.
Amerika sendiri menantang China di LCS dengan alasan wilayah perairan itu merupakan wilayah internasional yang sah dilewati oleh siapa saja.
![]() |
Terkait hal ini, Indonesia yang memang bersinggungan langsung dengan wilayah konflik menegaskan sikapnya terkait konflik antara China dan Amerika di LCS. Indonesia mengaku tidak pernah menempatkan diri sebagai negara yang turut bersengketa dalam perebutan wilayah di Laut China Selatan.
Berulang kali Indonesia menegaskan kepada seluruh pihak untuk menghormati hukum internasional termasuk Konvensi Hukum Kelautan PBB (UNCLOS) 1982.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah Indonesia sendiri berpendirian menolak klaim nine-dashed line, penanda jalur perikanan tradisional China, yang jadi dasar klaim wilayah hingga Natuna Utara.
RI tetap berpegang pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) bahwa wilayah Natuna Utara termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Masalah klaim wilayah ini pun berkaitan dengan pencurian oleh kapal ikan asing di Natuna Utara. Dalam beberapa kasus, kapal nelayan dikawal oleh coast guard negara tertentu dan bahkan membantu pelariannya.
Bakamla dalam hal ini menjadi penjaga lautan Natuna untuk mengusir para perompak ikan di perbatasan Laut China Selatan yang menjadi medan konflik internasional.
(tst/gil)