ANALISIS

Rem Blong Pemerintah di Tanjakan Corona

CNN Indonesia
Selasa, 08 Sep 2020 11:15 WIB
Epidemiolog UI Pandu Riono menilai istilah rem darurat yang didengungkan pemerintah tak jelas. Dia bahkan mengibaratkan rem yang digunakan pemerintah blong.
Warga melintasi papan informasi berbentuk peti jenazah dan petugas medis menggunakan hazmat tentang jumlah warga terpapar Covid-19 di kawasan Kemang. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia yang telah berlangsung selama kurang lebih enam bulan sejak Maret lalu, belum menunjukkan tanda bakal berakhir. Kasus positif justru semakin menanjak sejak Agustus lalu. Kasus konfirmasi positif Covid-19 di Indonesia, bahkan hampir mencapai 200 ribu pada awal September ini.

Dalam merespons penambahan kasus itu, pemerintah beberapa kali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga menggaungkan emergency brake atau rem darurat.

"Tidak bisa juga kita konsentrasi penuh di urusan kesehatan, tapi ekonomi menjadi sangat terganggu. Gas dan rem ini yang selalu saya sampaikan kepada gubernur, wali kota, untuk ada balance," kata Presiden Joko Widodo, Kamis (25/6) lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono, kondisi injak rem darurat yang disebutkan Pemerintah belum memiliki definisi yang konkret dan jelas.

"Tidak ada rem darurat, mereka [Pemerintah] tidak punya rem, tidak punya parameter. Kita tidak tahu kapan mau injak rem, atau rem mana yang mau diinjak, atau mungkin remnya sudah diinjak tapi blong, kan tidak ada yang tahu kita," kata Pandu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (8/9).

Menurut Pandu hal ini disebabkan karena fokus pengendalian pandemi di Indonesia dalam enam bulan belakangan, salah. Kegamangan Pemerintah dalam membuka keran sosial-ekonomi di tengah infeksi yang semakin masif menjadi langkah dilematis yang berimbas pada kenaikan kasus.

Ia juga menyoroti kapasitas tes yang selama ini dilakukan pemerintah, yang menurutnya belum memenuhi standar pemeriksaan global.

Jika sesuai kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO), maka idealnya dalam satu pekan, Indonesia melakukan tes sebanyak 267.700 per 1 juta penduduk.

Namun data terakhir Satgas Covid-19 pada Senin (31/8), capaian testing Indonesia baru 46 persen dari target WHO. Indonesia baru mampu melakukan tes sebesar 125.434 per 1 juta penduduk dalam sepekan.

Selain itu, koordinasi antar lembaga Kementerian tidak berjalan dengan seiring, sehingga menyebabkan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tidak sinergis, dan berimplikasi pada ambiguitas sebuah kebijakan. Menurut Pandu, setiap Kementerian harus difungsikan untuk bekerja bersama sesuai sektor yang diemban.

"Tidak ada yang kerja di Pemerintah, makanya tidak beres, karena tidak punya rem. Dan Menteri-menterinya tidak ada yang bekerja, terutama Menkes," kata Pandu.

Oleh sebab itu, Pandu meminta Pemerintah untuk segera menghapus fungsi kerja Satuan Tugas Percepatan dan Penanganan covid-19 yang dinilai simbolik. Dan kemudian menggantikan seluruh aktor pengendalian pandemi ini dengan orang Kemenkes yang dinilai paham terhadap sistem kesehatan. 

"Kalau satgas tidak bisa kerja, dibubarkan saja, kan ada menteri banyak. Jadi saat ini seolah-olah main tunggu-tungguan, Kementerian nunggu Satgas, dan sebaliknya," imbuhnya.  

Infografis Tahapan Riset Vaksin Corona Buatan RIInfografis Tahapan Riset Vaksin Corona Buatan RI. (CNN Indonesia/Timothy Loen)

Jika berkaca pada pengendalian pandemi negara lain, menurut Pandu mereka hanya fokus kepada pengendalian secara menyeluruh melalui surveillance atau aktivitas pemeriksaan, penelusuran kontak hingga penanganan dalam isolasi.

Selain itu, sosialisasi perilaku 3M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak) harus diberlakukan dengan respons imbalan dan sanksi tegas yang selaras.

"Dikasih penghargaan, kalau pakai masker dikasih hadiah. Ini hukumannya main-main, ada disuruh masuk peti mati, orang malah ketawa-ketawa saja. Seharusnya denda besar, hukuman di luar relatif tinggi tapi masyarakatnya lebih patuh," jelasnya.

Senada, Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman menilai salah satu upaya untuk menanggulangi pandemi ini adalah koordinasi lintas sektor, yang harus digawangi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Menurut Dicky, hal itu berkaca pada pandemi sebelum Covid-19 ini, bahwa di setiap negara Kemenkes berperan menjadi aktor utama, dengan membawa sistem pengendalian yang komprehensif dan sesuai disiplin ilmunya.

Sementara peran Satgas covid-19 tak lain merupakan badan ad hoc, dan menurut Dicky, dalam sistem pengendalian pandemi, badan tersebut tidak dianjurkan menjadi aktor utama.

"Jadi jadikan kesehatan sebagai fokus utama pengendalian, dan dipimpin sektor kesehatan, Kemenkes harus jadi leading sektor mengatasi pandemi ini," kata Dicky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (8/9).

"Indonesia harus mengubah fokus pengendalian, fenomena kasus kita di level global menjadi sorotan," imbuhnya.  

Sejauh ini, Dicky belum melihat porsi layak Kemenkes dalam pengendalian ini. Padahal, hal ini dapat menjadi pembelajaran dan pengalaman emas bagi Kemenkes untuk mengendalikan sebuah pandemi ke depannya.

Pasalnya, Dicky yakin, dalam pengendalian pandemi ini, sistem atau metode yang harus digunakan adalah sistem kesehatan beserta awak kesehatan yang memiliki kualifikasi cukup di dalamnya. Dan metode itu sudah terbukti berhasil dalam sejarah pengendalian pandemi global maupun epidemi di Indonesia sebelumnya. `

"Selama enam bulan ini, Pemerintah perlu mengevaluasi Satgas. Karena kalau kita merespons tidak berdasarkan penguatan atau membangun sistem kesehatan, kita bakal kehilangan kesempatan, karena ini bukan pandemi terakhir," ujarnya. 

Dicky pun yakin dengan segala pemberdayaan Kemenkes, maka Kementerian yang saat ini di bawah kepemimpinan Terawan Agus Putranto itu bakal bisa melakukan aktivitas surveillance secara optimal. 

"Itu akan berjalan sendirinya, Kemenkes punya sistem sudah jalan. Dan saat ini yang terjadi saya lihat ada gap waktu dan koordinasi," jelasnya.

Lebih lanjut, ia pun menilai, tumpang tindih kebijakan yang kadang tidak sinergis, diakibatkan dari ketiadaan koordinasi solid dari setiap Kementerian era Jokowi.

Menurutnya, sudah sepatutnya lintas Kementerian mendukung setiap kebijakan, dan mengontrol setiap sektor yang diemban, sehingga peran satgas sebenarnya dapat diemban oleh setiap Menteri.

"Ini yang saya melihat belum di Indonesia, Kementerian menetapkan visi utama saja masih ambigu, dualism. Sehingga ke bawahnya jadi terkesan jalan masing-masing," kata Dicky.

Dicky pun meminta Pemerintah untuk tidak gegabah dan serius dalam membuka kran aktivitas sosial-ekonomi. Sebab, alih-alih dapat memulihkan perekonomian, justru upaya tersebut dapat membuat waktu sebuah negara untuk kembali 'normal' menjadi terhambat.

Saat ini menurutnya, langkah paling vital yang dapat dilakukan Pemerintah adalah dengan melakukan pemeriksaan dan penelusuran kontak secara masif. Ketika upaya itu dilakukan sangat optimal, maka Dicky yakin pemulihan ekonomi dapat berjalan beriringan setelahnya. 

Akumulasi kasus konfirmasi positif hingga Senin (7/9) berjumlah 196.989 kasus. Akumulasi kasus dalam dua bulan terakhir yakni Juli-Agustus mencapai lebih dari 100 ribu kasus.

Total kasus positif pada Juli sebanyak 51.991 kasus, Agustus 66.420 kasus. Jika dijumlahkan, dalam dua bulan terakhir kasus Covid-19 di Indonesia berjumlah 118.411.

Penambahan kasus ini juga berdampak pada meningkatnya angka kematian. Akumulasi kasus kematian selama enam bulan terakhir hingga Senin (7/9) berjumlah 8.130 kasus.

(ugo/khr/ugo)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER