Gie mulai bertugas di tim penanggulangan Covid-19 RSUD Arifin Achmad pada April. Saat itu, anak-anaknya diasuh oleh orang tua Gie yang merupakan pensiunan PNS. Ia bersama tenaga kesehatan lainnya menginap di Hotel Aryaduta yang disediakan khusus oleh Pemprov Riau.
"Awal saya dapat surat keputusan bertugas, saya sudah bilang ke mama mungkin risikonya besar. Anak saya ungsikan ke rumah mama," kata dia.
Gie, yang merupakan ibu tunggal dari dua orang anak dan juga tulang punggung keluarganya, pun mulai merasakan pedihnya sulit berjumpa dengan anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjumpaan dengan anaknya lebih sering melalui panggilan video. Untuk melihat langsung anaknya, ia hanya bisa menatap dari luar pagar rumah orang tuanya.
"Dan hanya melihat dari luar pagar, itu pun kalau bawa makanan disemprot disinfektan dulu plastiknya baru diserahkan ke anak-anak dengan digantung di pagar. Sejak Covid-19 untuk memeluk dan mencium anak aja berpikir ratusan kali," ucap dia.
Terakhir kali bisa leluasa bercanda dengan anak-anaknya adalah pada Agustus saat mendapat cuti kerja tiga hari di akhir pekan. Ketika itu, Gie tidak langsung masuk ke rumah. Ia singgah di halaman samping untuk mandi menggunakan pancuran air dari selang penyiram bunga.
Gie tanggalkan semua baju yang melekat di badannya, diganti dengan pakaian bersih. Di dalam rumah, dia selalu mengenakan masker jenis N95.
"Sabtu itu saya sempet mandikan anak-anak, nyuapin makan, bantu buat PR, tidur siang sama anak sampai shalat Maghrib sama-sama. Jam delapan malam saya pulang. Terakhir meluk si adek pas Sabtu itu," ujarnya.
Perasaannya semakin pedih karena melihat anak lelakinya berulang tahun yang ketujuh saat masih di ruang isolasi rumah sakit.
Gie mengakui kondisi tersebut membuatnya stres luar biasa. Dia serasa ingin menangis tapi air mata seakan kering. Efeknya, dia tidak bisa tidur. Beragam cara digunakan sebagai pereda tekanan mental itu.
"Tak bisa nangis lagi, cuma bisa ketawa. Awal keluarga masuk rumah sakit semua, saya macam orang stres, enggak bisa tidur," aku dia.
"Jam 12 malam saya keluar cuma buat naik mobil keliling kota tiga kali putaran dari hotel, Jalan Sudirman, sampai simpang tiga bandara balik lagi. Terakhir saya bawa sholat supaya tenang," ucapnya.
Sebelumnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengungkap, per Kamis (17/9), sudah ada 117 dokter yang meninggal dunia akibat terinfeksi Virus Corona. Korban terbanyak ada di Jawa Timur dan Sumatra Utara.
Selain itu, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mencatat ada 78 perawat meninggal selama masa pandemi Covid-19. Korban terbanyak berada di Jawa Timur.
Merespons kasus tenaga medis itu, Pemerintah sudah menggelontorkan insentif bagi mereka yang bertugas di garda terdepan penanganan pandemi, menyediakan 3.500 dokter magang untuk cadangan, mengklaim ketercukupan ruang perawatan bagi pasien Covid-19.
Di samping itu, ada penunjukan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk memimpin penanganan Covid-19 di sembilan provinsi dengan kasus Corona tertinggi.
![]() |
Namun, tenaga medis meminta lebih kepada perbaikan sistem penanganan pandemi, ketersediaan APD lengkap, obat-obatan, hingga pencegahan kelebihan kapasitas rumah sakit.
Ketua Tim Mitigasi PB IDI Adib Khumaidi meminta pemerintah menjamin keselamatan dokter dalam bekerja menangani pasien lewat perbaikan perundangan.
Pasalnya, tenaga medis masih bekerja di dalam ruangan tertutup ber-AC. Hal ini mempermudah penularan virus.
"Harus ada regulasi yang menjamin semua dokter bekerja dalam sebuah fasilitas pelayanan yang sesuai," kata Adib dalam acara Setroom CNNIndonesia.com, Kamis (19/7).
"Jadi bukan hanya APD, insentif tapi melalui sebuah regulasi," tandasnya.
(antara/arh)