Mahkamah Agung (MA) mengurangi hukuman dua orang mantan pejabat tinggi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Sugiharto dan Irman, dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP.
"Permohonan PK Pemohon/Terpidana Sugiharto dikabulkan oleh MA dalam tingkat pemeriksaan Peninjauan Kembali. MA kemudian membatalkan putusan kasasi MA Nomor 430 K/Pid.Sus/2018 tanggal 18 April 2018," kata Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro dalam keterangan tertulisnya, Selasa (29/9).
Dalam putusannya, MA mengadili kembali dan menjatuhkan pidana kepada Sugiharto dengan pidana penjara selama 10 tahun, pidana denda sebesar Rp500 juta subsider pidana kurungan selama 8 bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pidana penjara 10 tahun ini berkurang 5 tahun dari putusan kasasi. Saat kasasi Sugiharto dijatuhi hukuman 15 tahun pidana penjara.
Selain itu, Sugiharto juga dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar USD450 ribu dan Rp460 juta subsider 2 tahun penjara.
Sementara Irman, dalam putusannya, MA menjatuhkan pidana penjara selama 12 tahun, pidana denda sebesar Rp500 juta subsider pidana kurungan selama 8 bulan.
Pidana penjara 12 tahun ini berkurang 3 tahun dari putusan kasasi. Saat kasasi Irman dijatuhi hukuman 15 tahun pidana penjara.
Selain itu, Irman juga dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar USD500 ribu dan Rp1 miliar, dikompensasikan dengan uang USD300 ribu yang telah diserahkan Irman subsider 2 tahun penjara.
Andi menjelaskan, pertimbangan Majelis Hakim PK mengabulkan permohonan PK kedua pemohon itu dikarenakan keduanya telah ditetapkan oleh KPK sebagai justice collaborator (JC) dalam tindak pidana korupsi sesuai keputusan Pimpinan KPK No 670/01-55/06-2017 tanggal 12 Juni 2017
Selain itu, keduanya bukan pelaku utama dan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga Penyidik dan Penuntut Umum dapat mengungkap peran pelaku utama dan pelaku lainnya dalam perkara a quo.
"Namun demikian putusan PK kedua perkara tersebut hasil musyawarah majelis hakim PK tidak bulat karena Ketua Majelis, Suhadi menyatakan Dissenting Opinion (DO). Suhadi menyatakan DO karena Terpidana a quo memiliki peran yang menentukan yaitu sebagai kuasa pengguna anggaran," kata Andi.
(yoa/ayp)