Berbagai elemen buruh dan sejumlah serikat pekerja di berbagai daerah Jawa Barat akan berunjuk rasa dan menggelar aksi mogok nasional mulai Senin (5/10) hari ini hingga Kamis (8/10).
Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang Dan Kulit (FSP TSK) SPSI yang juga Presidium Aliansi Gekanas (Gerakan Kesejahteraan Nasional), Roy Jinto mengatakan, unjuk rasa dan mogok nasional terkait dengan penolakan Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja yang disetujui menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna.
"Buruh pada Senin 5 Oktober 2020, melakukan aksi penolakan di DPR RI walaupun dihalang-halangi oleh aparat kepolisian dengan acara mencegat rombongan buruh yang akan berangkat ke DPR RI, memblokade kawasan-kawasan industri di Bekasi, Tangerang, dan Jakarta," ujar Roy dalam keterangan tertulis, Senin (5/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Roy menambahkan, pada 6-8 Oktober 2020, kaum buruh siap melakukan aksi nasional secara serentak di seluruh kabupaten/kota se-Indonesia untuk menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
"Aksi ini upaya terakhir kaum buruh untuk menjegal agar Omnibus law RUU Cipta Kerja ini tidak disahkan," tegasnya.
Menurut Roy, aksi kalangan buruh dilaksanakan secara konstitusional sesuai dengan UUD 1945, UU 9/1998 dan pasal 4 UU 21/2000, dengan tetap melaksanakan protokol Covid-19, yaitu dengan memakai masker, membawa hand sanitizer, dan menjaga jarak. Buruh juga berjanji akan menggelar demo secara tertib dan damai.
Pembahasan RUU Cipta Kerja di tingkat I antara Badan Legislatif (Baleg) dengan pemerintah telah dilaksanakan pada Sabtu, (3/10) malam. Pembahasan ditandai dengan pandangan mini fraksi. Hanya dua fraksi yang menolak pembahasan RUU tersebut yakni Demokrat dan PKS.
Selanjutnya, RUU Cipta Kerja diteruskan ke tingkat II yaitu Rapat Paripurna pengesahan. Adapun tujuh fraksi setuju dilanjutkan ke Paripurna.
"Keputusan Baleg dan pemerintah tersebut sangat membuat kaum buruh kecewa dan marah kepada DPR RI, karena DPR RI tidak mencerminkan sebagai wakil rakyat di mana rakyat khususnya kaum buruh jelas menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan," ujar Roy.
Roy menyayangkan sikap Baleg DPR yang terus melakukan pembahasan baik pada hari libur sampai tengah malam. Hal ini, kata dia, mengindikasikan bahwa RUU Cipta Kerja sedang kejar tayang.
"Dalam situasi pandemi seperti ini kami menilai Omnibus law RUU Cipta Kerja tidak akan menjawab persoalan ekonomi maupun investasi karena dengan terus meningkatnya angka positif Covid-19 di Indonesia investor pun tidak akan masuk ke Indonesia, justru seharusnya pemerintah dan DPR RI fokus pada penanganan Covid-19 sehingga dunia internasional percaya kepada Indonesia mampu menangani Covid-19," ujar Roy.
Lebih jauh Roy menuturkan, panitia kerja (panja) dan pemerintah khususnya klaster ketenagakerjaan sangat merugikan kaum buruh antara lain dengan dibebaskannya sistem kerja PKWT dan outsourcing tanpa ada batasan jenis pekerjaan dan waktu membuat buruh tidak ada kepastian pekerjaan.
Selain itu, dihapusnya upah minimum sektoral, diberlakukannya upah perjam mengakibatkan tidak adanya kepastian pendapatan.
Tak hanya itu, dengan adanya UU tersebut PHK dipermudah, pesangon dikurangi, hak cuti dihapus dan lain-lain.
"Ini menandakan bahwa RUU Cipta Kerja bukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan melindungi buruh malah sebaliknya hanya untuk kepentingan kaum pemodal saja. Oleh karena itu sikap kami kaum buruh jelas menolak dan meminta klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dan juga menolak pengesahan RUU Cipta Kerja diparipurnakan," tegasnya.
(hyg/gil)