Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan tak tepat jika ada pihak yang menuding aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja menjadi penyebab lonjakan kasus Covid-19.
Menurut Dicky, sebelum terjadi demonstrasi pandemi Covid-19 di Indonesia sudah buruk. Oleh karena itu, kata dia, kasus positif Covid-19 akan tetap meningkat sekalipun tanpa ada aksi turun ke jalan.
"(Kerumunan di unjuk rasa) tidak bisa jadi faktor tunggal karena sebelumnya sudah banyak. Dia akan kontribusi, tentu jangan sampai pemerintah atau publik ini (menilai) gara-gara demo (kasus meningkat), tidak bisa begitu," kata Dicky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (9/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dicky mengatakan anggapan serupa sempat beredar di publik Amerika Serikat saat gelombang demonstrasi #BlackLivesMatter. Namun, kata dia, usai penelitian mendalam oleh para epidemiolog, kerumunan aksi massa tak berdampak signifikan terhadap kenaikan jumlah kasus.
Dicky menjelaskan peningkatan jumlah kasus positif Covid-19 dalam beberapa pekan mendatang akan dipengaruhi oleh banyak faktor. Misalnya tahapan Pilkada 2020 yang telah berlangsung beberapa bulan.
"Seperti rangkaian pilkada yang juga melibatkan banyak massa, kemudian pelonggaran-pelonggaran membuat pembatasan mobilitas masyarakat tidak terlalu signifikan," ujarnya.
Dihubungi terpisah, Ketua YLBHI Afinawati menduga ada upaya pembingkaian dari Polri terhadap aksi unjuk rasa tolak Omnibus Law Cipta Kerja. Salah satu hal yang ia soroti adalah tindakan kepolisian mengetes massa aksi dengan rapid test.
"Memang ada pembingakaian, upaya sejak awal dari pemerintah dan polisi menggagalkan, menghalang-halangi, dan mem-framing buruk aksi. Peserta yang ditangkap pun dengan alasan covid," kata Asfinawati kepada CNNIndonesia.com, Jumat (9/10).
Asfinawati mengatakan polisi bersandar pada Pasal 93 Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal itu memungkinkan aparat menjerat orang yang menimbulkan dampak terhadap pandemi.
Meski begitu, Asfinawati menilai Polri tebang pilih. Merujuk data, kata dia, klaster terbesar penyebaran Covid-19 adalah perkantoran.
"Yang menimbulkan klaster perkantoran kan awalnya karena Menteri BUMN mengeluarkan edaran agar bekerja di kantor. Kalau pakai logika polisi, yang dipidana duluan adalah menteri," ujar Asfinawati.
Sebelumnya, aksi unjuk rasa berlangsung di sejumlah daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, hingga Makassar. Kepolisian menangkap ratusan peserta aksi di berbagai daerah tersebut.
Setelah ditangkap, mereka digiring untuk menjalani rapid test. Misalnya di Tangerang, polisi mengungkap ke publik ada 12 buruh reaktif. Lalu di Jakarta, Polda Metro Jaya menyebut 34 orang reaktif dan langsung mengisolasinya di Wisma Atlet.
(dhf/fra)