Nabila Syaadza atau Sasa mendadak viral. Mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Hasanuddin yang selangkah lagi menyandang status sarjana ini jadi sorotan di media sosial karena orasi "pancasalah" saat berunjuk rasa terkait Omnibus Law Cipta Kerja.
Sasa yang dikonfirmasi Sabtu, (10/10) membenarkan video itu dirinya. Tapi, kata Sasa, itu video lama yang baru diunggah. Sasa mengatakan orasinya tersebut dalam unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Kerja, namun bukan pada momen unjuk rasa 7 dan 8 Oktober baru-baru ini.
"Saya tidak bisa kasih tahu waktu tepatnya kapan tapi video itu bukan pas momentum aksi besar-besaran-an 7-8 Oktober kemarin. Tapi tetap terkait aksi omnibus law dan RUU cipta kerja," kata Sasa yang dikonfirmasi melalui pesan pendek WhatsApp.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sasa mengaku tidak mengetahui orang yang pertama kali mengunggah video dirinya berorasi Pancasalah.
Dalam rekaman video yang beredar Sara berorasi memplesetkan Pancasila menjadi Pancasalah. Di tengah massa, sambil memegang toa dengan tangan kiri mengepal ke udara, Sara mengkritik praktik bernegara para elite.
"... Negara kita yang katanya negara Pancasila sekarang menjadi negara pancasalah. Satu, ketuhanan yang maha hormat; Dua, kemanusiaan yang adil bagi para birokrat; Tiga, persatuan para investor; Empat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat penindasan dalam permusyawaratan diktatoriat; Lima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat kelas atas," teriak Sasa.
Humas Universitas Hasanuddin, Ishaq Rahman yang dikonfirmasi mengatakan, Nabila Syaadza adalah mahasiswi angkatan 2016.
"Skripsi sudah selesai tapi belum tahu apakah sudah ujian atau belum. Jadi sudah mau sarjana," kata Ishaq Rahman.
Menurutnya, Sasa seperti mahasiswi dan mahasiswa pada umumnya. Kuliahnya bagus dan lancar, tidak ada mata kuliah yang tertinggal. Tapi memang terbilang kritis.
"Sasa ini aktif berorganisasi, ada kepedulian dengan aktifitas sosial. Secara moral, kita mendukung gerakannya. Bahwa jika misalnya ada hal yang dianggap bertentangan dengan aturan hukum, kita serahkan kepada bagaimana penafsiran dari aparat kepolisian," kata Ishaq Rahman.
(svh/wis)