Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra) memberikan klarifikasi soal dugaan penembakan mahasiswa Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara saat demo penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Menurut polisi, berdasarkan hasil konfirmasi Kapolres Baubau, korban diduga terluka akibat benda tumpul.
"Sudah dikonfirmasi sama kapolres bahwa hasil visum mengatakan itu luka akibat benda tumpul," kata Kabid Humas Polda Sultra Kombes La Ode Proyek kepada CNNIndonesia.com, Jumat (16/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
La Ode menyebut, korban sudah menjalani visum setelah peristiwa demo ricuh pada pekan lalu, 9 Oktober 2020. Ia juga menyebut hasil ronsen akan turun hari ini.
"Dugaan sementara dari keterangan polres bukan karena tembakan. Kesimpulan sementara bukan dari peluru," ujarnya.
Dari hasil visum, luka korban memiliki kedalaman 0,5 cm. Menurut La Ode, bila terkena tembakan peluru karet misalnya, pasti akan ditemukan proyektil yang bersarang di tubuhnya.
Atau bila korban mengalami tembakan peluru karet, lanjut dia, otomatis akan ada bekas luka menghitam.
"Kalau misalnya tembakan harus ada peluru di dalam. Tapi ini tidak ditemukan peluru karet maupun timah. Jadi tidak ditemukan benda (proyektil) di dalam (tubuhnya)," jelasnya.
Ia menuturkan, saat ini pimpinan Polda Sultra telah membentuk tim investigasi untuk turun ke Baubau melakukan penyelidikan.
"Kasusnya sementara sudah didalami dan lidik oleh polisi," pungkasnya.
Sebelumnya, seorang demonstran penolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di Kota Baubau Provinsi Sultra dilaporkan tertembak di lengan kiri.
Mahasiswa bernama Nur Sya'ban yang juga Wakil Ketua BEM Fakultas Hukum Unidayan itu tertembak pada Jumat 9 Oktober 2020 lalu saat demo ricuh menolak Undang-Undang sapu jagad di DPRD Kota Baubau.
Ketua Tim Advokasi Kebebasan Berpendapat Masyarakat Kota Baubau Agung Widodo menjelaskan, awalnya demonstrasi berlangsung damai. Namun ia menduga, ada penyusup dalam barisan massa aksi, sehingga demo berujung ricuh.
Aparat keamanan mencoba menembakkan peluru gas air mata untuk membubarkan massa aksi. Saat korban mundur, bersamaan dengan itu lengannya terasa sakit.
"Ternyata korban sudah kena (peluru) bagian lengan kiri berbentuk bulatan," jelas Agung saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (15/10).
Agung menyebut, berdasarkan keterangan medis kedalaman luka korban sekitar 0,5 cm dan diameternya 0,1. Ia menduga, korban terkena luka tembak peluru karet milik aparat.
"Dugaannya seperti itu (oknum polisi). Namun dalam BAP saat diperiksa masih menyebut belum diketahui, olehnya itu kami masih menunggu tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam hal penyidikannya," jelasnya.
Agung menuturkan, tim kuasa hukum telah resmi memasukan Laporan di Mapolres Kota Baubau dengan Laporan Polisi Nomor : LP/413/X/RES.7.4/2020/RES.BAU-BAU tertanggal 14 Oktober 2020.
Menurutnya, penggunaan senjata dalam mengamankan jalannya demonstrasi telah menyalahi standar operasional prosedur (SOP).
Agung juga menyebut, penggunaan senjata api saat mengamankan massa merupakan pelanggaran pidana sebagaimana dalam KUHP pasal 351 Ayat (1) dan (2) Jo. Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951.
"Senjata api seharusnya digunakan untuk keadaan genting. Senjata api tidak boleh digunakan kecuali mutlak diperlukan dan tak bisa dihindari lagi demi melindungi nyawa seseorang. Penggunaan senjata Api dalam aksi demontrasi itu sudah di luar proporsi dan pelanggaran HAM berat," tekannya.
Untuk itu, ia mendesak polisi harus melakukan investigasi secara menyeluruh, efektif, dan independen dan mengusut tuntas kasus ini.
"Proses hukum juga harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, jangan ada yang ditutup-tutupi dan direkayasa. Keluarga korban dan aktivis berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai ada impunitas hukum seperti yang selama ini terjadi," jelasnya.
(pnd/gil)